Rabu, 25 Juli 2018

Mengenal Macam-Macam Gangguan Mental


1.      Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)



Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang bersifat kompleks karena gejala-gejala yang nampak menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain, (Solichah, 2013).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid, 2005). Dengan demikian PTSD dapat meliputi kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse, atau perang (Nawangsih, 2014).
Trauma yang ditinggalkan akan terus hidup dalam diri korban selamat yang mengalami langsung peristiwa mengerikan itu. Tanpa penanganan kejiwaan secara terpadu maka akan muncul kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD). Gangguan stres pasca trauma kemungkinan berlangsung berbulan- bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatic. Poerwandari (2006) mengungkapkan ciri-ciri individu yang mengalami PTSD diantaranya kesulitan mengendalikan emosi/perasaan (mudah marah, mudah tersinggung, sedih yang berlarut larut), kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih (melamun), ketakutan, mimpi buruk, gangguan tidur, ingatan peristiwa masa lalu yang mencengkeram, gangguan makan, dan merasa terganggu bila diingatkan. Artinya berbagai peristiwa atau kejadian yang dialami remaja akan berpengaruh dalam proses perkembangan berikutnya (Tentama, 2014).
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma (PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut  (Nawangsih, 2014):
a.       Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua orang. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau tindakan mendadak seolah-olah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b.      Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada sebelum trauma itu).
c.       Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak mempunyai masa depan.
Gangguan PTSD yang dialami individu akan berdampak juga pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut (Nawangsih, 2014) :
a.       PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan, umumnya gangguan tersebut adalah panic attack (serangan panik), perilaku menghindar, depresi, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak percaya dan dikhianati, mudah marah, mengalami gangguan yang berarti dakan kehidupan sehari-hari.
b.      Panic attack (serangan panik), khususnya pada anak atau remaja yang mempunyai pengalaman traumatik dapat mengalami serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
c.       Depresi. Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
d.      Memiliki pemikiran negatif. Kadang- kadang orang yang sedang mengalami depresi merasakan bahwa kehidupan- nya sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
e.       Merasa diri disisihkan. Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami.
f.        Merasa dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati. Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh ingkungan disekitarnya, atau oleh nasib, atau oleh Tuhan.
g.      Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.  

2.      Acute Stress Disorder (ASD)
Efek dari stres dapat menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi maladaptif terhadap stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan stresor dalam hidup, seperti masalah pekerjaan, perceraian, penyakit kronis, atau rasa duka cita yang mendalam setelah mengalami kehilangan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute stress disorder/ASD). ASD adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan pertama sesudah pengalaman traumatis (Nawangsih, 2014).
Setelah kehilangan mendadak, cedera atau penyakit yang rumit, seseorang dapat melalui periode sekitar satu bulan di mana mereka mengalami perasaan takut, tidak berdaya atau kengerian serta beberapa gejala fisik. Ini dikenal sebagai Acute Stress Disorder. Perasaan stres dan kesedihan ini diharapkan selama waktu tersebut dan biasanya hilang setelah seseorang memiliki kesempatan untuk merasa lebih baik tentang diri mereka dan masa depan. Jika gejala bertahan lebih dari sebulan, seseorang dapat mengembangkan Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD) dan mungkin memerlukan konseling jangka panjang (Association of Traumatic Stress Spicialis, 2002).
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko mayor untuk  PTSD, karena banyak orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD.  Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive yang terjadi pada bulan pertama pada pengalaman traumatis. Berlawanan dengan  ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan- bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa decade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Jeffrey, et.al.2009)
Acut Stress Disorder awalnya diperkenalkan karena dua alasan (Bryant, R.A., 2011).:
a.       Untuk menggambarkan reaksi stres akut parah yang terjadi pada bulan pertama setelah trauma yang tidak dapat digambarkan sebagai PTSD, yang hanya dapat didiagnosis setelah satu bulan telah terjadi sejak trauma
b.      Untuk mengidentifikasi orang yang mengalami trauma akut yang kemudian akan mengembangkan PTSD sebagai lawan untuk mengalami reaksi stres sementara (Spiegel et al., 1996). Untuk memenuhi kriteria untuk diagnosis ASD di DSM-IV, seseorang perlu mengalami peristiwa traumatis dan merespons dengan ketakutan, horor, atau tidak berdaya (Kriteria A), dan mirip dengan PTSD, diperlukan untuk memenuhi re-mengalami (Kriteria C), penghindaran (Kriteria D), dan klausa gejala gairah (Kriteria E). ASD secara nyata dibedakan dari PTSD dengan penekanan kuat pada disosiasi akut, seperti yang diperlukan untuk memiliki setidaknya tiga gejala berikut: mati rasa emosional, derealisasi, depersonalisasi, mengurangi kesadaran lingkungan, atau amnesia disosiatif (Kriteria B). Penekanan pada disosiasi ini sebagian besar didasarkan pada perspektif bahwa tanggapan disosiatif terhadap trauma sangat penting dalam psikopatologi jangka panjang (Harvey dan Bryant, 2002).
Diagnosis ASD menggambarkan reaksi stres akut dan memprediksi PTSD selanjutnya dievaluasi. Studi dipilih yang dinilai untuk ASD dalam 1 bulan paparan trauma dan dinilai pada waktu kemudian untuk PTSD menggunakan ukuran yang ditetapkan dari ASD dan PTSD. Untuk setiap studi, kapasitas diagnosis ASD untuk memprediksi PTSD dihitung dalam hal sensitivitas, spesifisitas, dan kekuatan prediktif positif dan negatif. Diagnosis ASD mengakibatkan setengah tingkat orang yang mengalami gangguan pada fase akut yang diidentifikasi relatif termasuk kasus dengan ASD subsindromal. Dalam hal prediksi, diagnosis ASD memiliki kekuatan prediktif positif yang wajar (proporsi orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD). Sebaliknya, sensitivitasnya buruk (proporsi orang yang mengembangkan PTSD yang awalnya memenuhi kriteria untuk ASD). Diagnosis ASD tidak cukup mengidentifikasi mayoritas orang yang akhirnya akan mengembangkan PTSD. Ada kebutuhan untuk secara formal menggambarkan reaksi stres akut tetapi ini dapat dicapai lebih berguna dengan menggambarkan berbagai reaksi awal daripada mencoba untuk memprediksi PTSD (Bryant, R.A., 2011).
ASD diperkenalkan ke DSM-IV untuk menggambarkan reaksi stres akut yang terjadi pada bulan pertama setelah terpapar peristiwa traumatis dan sebelum kemungkinan mendiagnosis PTSD, dan untuk mengidentifikasi korban trauma pada fase akut yang berisiko tinggi untuk PTSD. Tinjauan ini menganggap ASD dalam kaitannya dengan pendekatan diagnostik lain untuk respons stres akut, mengkritik bukti kekuatan prediktif ASD, dan membahas ASD dalam kaitannya dengan penyesuaian gangguan (Bryant, et.al. 2011)
Ciri-ciri reaksi stres ASD dan PTSD mempunyai banyak ciri dan simtom yang sama, beberapa ciri yang sama adalah mengalami kembali peristiwa traumatis, menghindari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut, mati rasa dalam responsivitas secara umum atau dalam segi emosional, gangguan fungsi atau distres emosional yang penting. Sedangkan perbedaan utama antara kedua gangguan tersebut adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi, yaitu perasaan asing terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan stress akut mungkin merasakan dunia ini seolah- olah sebagai suatu tempat dalam mimpi atau suatu tempat yang tidak nyata. Dalam gangguan stres akut (ASD), individu mungkin juga tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya mendapatkan bantuan medis atau bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005).
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres akut (ASD) berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut (Nawangsih, 2014):
a.    Orang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan.
b.   Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau lebih gejala disosiatif yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada responsivitas emosi, penurunan kesadaran sekelilingnya, derealisasi, depersonalisasi, amnesia disosiatif (tidak mampu mengingat aspek penting dari trauma).
c.    Kejadian traumatik yang secara bertahap dialami kembali dalam sekurangnya salah satu dari trauma yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul kembali, pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian traumatik.
d.   Penghindaraan pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
e.    Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan berlebihan, sulit tidur, iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
f.     Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
g.   Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat.
Gangguan Stres Akut meliputi:
a.    Perasaan gelisah atau panik.
b.   Perasaan mati rasa, menjadi linglung atau kaget atas apa yang telah terjadi.
c.    Perasaan putus asa
d.   Tidak mengingat tentang bagian-bagian tragedi yang dialami
e.    Kesulitan berkonsentrasi saat mencoba melakukan hal-hal lain (yaitu, membaca atau   menonton TV).
f.     Kesulitan jatuh atau tetap tertidur.
g.   Mimpi buruk saat tidur.
h.   Berkhayal dan berpikir tentang acara tanpa henti serta hal-hal yang bisa, seharusnya atau mungkin berbeda.
i.     Kehilangan minat dalam pekerjaan, bersosialisasi atau kegiatan lain yang sebelumnya dinikmati.
j.     Kesulitan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tragedi atau dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA
Tentama, Fatwa. 2014. Memahami Gangguan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pasca Bencana. URL: http://eprints.uad.ac.id/2763/1/Memahami%20Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma.pdf
Nawangsih, Endah. 2014. Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) URL: http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/psy/article/view/475
Association of Traumatic Stress Spicialis, 2002. Acute Stress: Reactions after a Traumatic Experience. URL: http://angermanage.co.uk/pdfs/Acute%20Stress.pdf
Bryant, R.A. (2011). Acute stress disorder as a predictor of posttraumatic stress disorder: A systematic review. Journal of Clinical Psychiatry, 72, 233-239.
Bryant, R.A. 2013. An Update of Acute Stress Disorder. Volume 24/ No. 1 • ISSN: 1050 -1835 • 2013
Bryant, R.A., Friedman, M.J., Spiegel, D., Ursano, R., and Strain, J. (2011). A review of acute stress disorder in DSM-5. Depression and Anxiety, 28, 802-817
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2009.Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 1: Erlangga,), 174. Retreived from: http://digilib.uinsby.ac.id/8632/4/Bab2.pdf

Rabu, 04 April 2018

Triage SALT


Konsep dan Metode Triage SALT (Sort – Assess –Lifesaving – Interventions – Treatment/Transport)

PSIK FK UNDIP 2018
Hasil gambar untuk triage

A.    Pengertian Triase/Triage
Triase merupakan suatu prosedur yang menempatkan korban pada kategori-kategori prioritas untuk transport dan perawatan berdasarkan tingkat kepararahan cedera serta kegawatdaruratan medis, yang ditentukan  dengan pertimbangan  tata cara pertolongan menggunakan sistem Airway-Breathing-Circulation (ABC). Untuk dilapangan atau di rumah sakit. Triase berasal dari Bahasa perancis yang berarti membagi/menyortir. Triase lapangan meliputi sistem seleksi korban di lapangan  oleh petugas dan evakuasi/transportasi ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan  lainnya. Secara garis  besar adalah penempatan korban dalam kategori-kategori prioritas medis sehingga dapat dipilih mana yang lebih dulu harus di tolong, diangkut atau bahkan ditinggalkan untuk sementara. Mengirim korban dengan keadaan tertentu ke fasilitas kesehatan yang memadai sesuai dengan  kondisi korban merupakan tanggung jawab dari petugas lapangan (Ramsi, et.al, 2014).
Triage adalah perawatan terhadap pasien yang didasarkan pada prioritas pasien ( atau korban selama bencana) bersumber pada penyakit/tingkat cedera, tingkat keparahan, prognosis dan ketersediaan sumber daya. Dengan triage dapat ditentukan kebutuhan terbesar pasien/korban untuk segera menerima perawatan secepat mungkin. Tujuan dari triage adalah untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan tindakan resusitasi segera, menetapkan pasien ke area perawatan untuk memprioritaskan dalam perawatan dan untuk memulai tindakan diagnostik atau terapi (Nuris Kushayati,)
Tidak benar mengirim korban dengan trauma berat ke fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai tenaga dan sarana yang lengkap jika sekitarnya ada fasilitas kesehatan yang lain yang lebih memadai, atau mengirim korban dengan luka ringan ke yang lebih dekat dan sudah mampu menangani korban tersebut. Untuk menghindari hal-hal tersebut maka perlu pegangan  yang jelas bagi petugas lapangan mengenai kriteria-kriteria tindakan laporan (Ramsi, et.al, 2014).

            Prioritas  penanganan korban triase (Ramsi, et.al, 2014) :
a.       Prioritas tertinggi/segera/kelas 1: korban gawat dan darurat
b.      Prioritas tinggi/tunda/kelas 2 : moderate & emergency
c.       Prioritas sedang/minor/ kelas 3: korban gawat tidak darurat, atau korban darurat tidak gawat, atau korban tidak gawat tidak darurat
d.      Prioritas terakhir/ kelas 4: probably death, korban memiliki tanda-tanda meninggal

B.     Prinsip Triage
Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan tepat waktu akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi kecacatan akibat kerusakan organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat, data yang didapatkan dengan adekuat dan akurat menghasilkan diagnosa masalah yang tepat. Keputusan didasarkan dari pengkajian, penegakan diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai kondisi pasien.Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban, penanganan atau tindakan yang diberikan sesuai dengan masalah/keluhan pasien. Kepuasan korban harus dicapai, kepuasan korban menunjukkan teratasinya masalah. Dokumentasi dengan benar, dokumentasi yang benar merupakan sarana komunikasi antar tim gawat darurat dan merupakan aspek legal. Klasifikasi ini penting untuk menseleksi korban yang datang sehingga keselamatan korban segera ditolong (Tyas, 2016).
Triage adalah hal yang paling dasar yang seharusnya dimiliki anggota tim penanganan bencana. Triage merupakan suatu teknik penilaian dan mengklasifikasikan tingkat kegawatan korban bencana. Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage lapangan dan Triage dalam Rumah Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan oleh perawat atau dokter instalasi gawat darurat dan mengenai triage lapangan, harusnya seorang first responder (yang pertama kali menangani bencana) menguasai triage. Pentingnya triage untuk memilih siapa yang harus ditangani lebih awal dan siapa yang terakhir. Secara keseluruhan proses triage dalam simulasi menghasilkan pendataan korban berdasarkan tingkat kegawatan masing masing dan selanjutnya korban dilabel warna sesuai hasil triage lewat aplikasi triage dengan tujuan tim penolong bisa dengan cepat mengetahui apakah korban sudah di triage atau belum. Proses pemberian label triage di lokasi darurat bencana dapat dilakukan dengan banyak cara antara lain (Tyas, 2016):
1.      Korban dapat dilabeli dengan material berwarna yang berada dilokasi bencana
2.      Memanfaatkan warna pakaian korban dan diikatkan pada bagian tubuh korban sesuai dengan warna hasil triage setiap korban. Pemberian label kepada setiap korban harus diletakkan secara seragam untuk mempermudah identifikasi pada tahap selanjutnya. Sebagai contoh apabila kain berwarna diikatkan pada bagian kaki atau tangan korban maka seluruh korban dalam pemberian label triage dilakukan hal yang sama dengan mengikatkan pada bagian kaki korban. Selanjutnya dilakukan evakuasi korban menuju rumah sakit terdekat untuk tindakan medis.

C.    Triage TAG
Triase dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban yang membutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan mengidentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (life-saving surgery). Dalam aktivitasnya, digunakan kartu merah, hijau dan hitam sebagai kode identifikasi korban, seperti berikut (Depkes RI, 2007):
1.      Merah, sebagai penanda korban yang membutuhkan pertolongan segera dan korban yang mengalami:
-          Syok oleh berbagai kausa
-          Gangguan pernapasan
-          Trauma kepala dengan pupil anisokor
-          Perdarahan eksternal massif
Merah menunjukkan prioritas tertinggi (immediate care- life threatening), (Ramsi, et.al, 2014).

2.      Kuning, sebagai penanda korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara. Semua korban dalam kategori ini harus diberikan infus, pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi, dan diberikan perawatan sesegera mungkin Termasuk dalam kategori ini:
-          Korban dengan risiko syok (korban dengan gangguan jantung, trauma abdomen)
-          Fraktur multiple
-          Fraktur femur / pelvis
-          Luka bakar luas
-          Gangguan kesadaran / trauma kepala
-          Korban dengan status yang tidak jelas
Kuning untuk prioritas tinggi (urgent care -  delay hingga 1 jam), (Ramsi, et.al, 2014).

3.      Hijau, sebagai penanda kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda, mencakup korban yang mengalami:
-          Fraktur minor
-          Luka minor, luka bakar minor
-          Korban dalam kategori ini, setelah pembalutan luka dan atau pemasangan bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan.
-          Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup pada akhir operasi lapangan, juga akan dipindahkan ke fasilitas kesehatan.
Hijau untuk prioritas sedang (dlayed care – dapat ditunda hingga 3 jam), (Ramsi, et.al, 2014).
4.      Hitam, sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia
Hitam untuk prioritas terakhir ( korban telah mati – no care required) (Ramsi, et.al, 2014).


A.    Triase lapangan
Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi, yaitu (Depkes RI, 2007):
1.      Triase di Tempat(triase satu)
Triase di tempat dilakukan di “tempat korban ditemukan” atau pada tempat penampungan yang dilakukan oleh tim pertolongan pertama atau tenaga medis gawat darurat. triase di tempat mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan pemindahan korban ke pos medis lanjutan.
2.      Triase Medik(triase dua)
Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari dokter yang bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian ahli anestesi dan terakhir oleh dokter bedah). Tujuan triase medik adalah menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh korban.
3.      Triase Evakuasi (triase tiga)
Triase ini ditujukan pada korban yang dapat dipindahkan ke Rumah Sakit yang telah siap menerima korban bencana massal. Jika pos medis lanjutan dapat berfungsi efektif, jumlah korban dalam status “merah” akan berkurang, dan akan diperlukan pengelompokan korban kembali sebelum evakuasi dilaksanakan.Tenaga medis di pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan Pos Komando dan Rumah Sakit tujuan berdasarkan kondisi korban akan membuat keputusan korban mana yang harus dipindahkan terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis kendaraan dan pengawalan yang akan dipergunakan.

B.     Triage SALT
a.       Model SALT Triage Untuk Insiden Korban Masal (Mass Casualty Incident)
Lerner et al. Dalam Neal, D.J. (2009) menilai sistem triase yang saat ini digunakan dan menggambarkan kekuatan dan kelemahan dari sistem ini. Penelitian ini mengembangkan pedoman triase yang digunakan untuk semua bahaya dan dapat diterapkan pada orang dewasa dan anak-anak. SALT Triage singkatan (sort – assess –lifesaving – interventions – treatment/transport). SALT terdiri dari dua langkah ketika menangani korban. Hal ini termasuk triase awal korban menggunakan perintah suara, perawatan awal yang cepat, penilaian masing-masing korban dan prioritas, dan inisiasi pengobatan dan transportasi. Pendekatan Triase SALT memiliki beberapa karakteristik tambahan. Pertama, SALT mengidentifikasi kategori expectant (hamil) yang fleksibel dan dapat diubah berdasarkan faktor-faktor tertentu. Kedua, SALT Triage awalnya mengkategorikan luka, tapi memberikan evaluasi sekunder untuk mengidentifikasi korban langsung (Nuris Kushayati)
SALT dimulai dengan penyortiran pasien secara global memprioritaskan mereka untuk penilaian individu. Pasien yang mampu diminta berjalan ke area yang ditentukan, dan pasien ini diberi prioritas terakhir untuk penilaian individu. Mereka yang tetap diberi tahu gelombang dan diamati untuk gerakan yang bertujuan. Mereka yang tidak bergerak dan mereka yang memiliki ancaman kehidupan yang jelas (misalnya, pendarahan yang tidak terkontrol) dinilai lebih dulu karena mereka paling mungkin membutuhkan intervensi yang menyelamatkan jiwa. Penilaian individu dimulai dengan cepat yang terbatas intervensi yang menyelamatkan jiwa, yang meliputi hal-hal berikut (Learner, et.al.).:
a.       Mengontrol perdarahan mayor melalui penggunaan tourniquets atau tekanan langsung yang diberikan oleh pasien lain atau perangkat lainnya
b.      Membuka jalan nafas melalui posisi atau saluran napas dasar dan jika pasien masih kecil, memberikan dua napas penyelamatan.
c.       Dekompresi dada untuk dugaan ketegangan pneumotoraks
d.      Penangkal injektor otomatis saat diindikasikan.

Intervensi ini dilakukan hanya jika memang demikian
dalam lingkup praktik responden yang memberikan triase, dan jika peralatan yang diperlukan segera tersedia
. Selanjutnya, pasien diprioritaskan untuk perawatan dan / atau transportasi dengan menugaskan mereka ke salah satu dari lima kategori: segera, tertunda, minim, penuh harapan, atau meninggal dunia. ID-MED mnemonik adalah pengingat sederhana dari kategori triase.
Pasien dengan luka ringan yang terbatas pada diri sendiri jika tidak diobati dan siapa yang dapat mentolerir keterlambatan perawatan tanpa meningkatkan risiko kematian mereka dinilai minimal dan ditandai dengan warna hijau. Pasien yang tidak bernafas bahkan setelah diupayakan intervensi menyelamatkan nyawa adalah triaged sebagai mati dan ditunjuk dengan warna hitam. Pasien yang tidak taat perintah, kekurangan pulsa perifer, berada dalam gangguan pernafasan, atau mengalami perdarahan mayor yang tidak terkontrol yang dilakukan secara langsung dan ditandai dengan warna merah. Namun, jika ada pasien yang mengalami cedera yang kemungkinan tidak sesuai dengan kehidupan yang diberi sumber daya yang ada saat ini, mereka malah berjasa sebagai calon dan ditunjuk dengan warna abu-abu. Pasien yang tersisa diperiksa karena tertunda dan diberi warna kuning (Learner, et.al.).
Triase SALT memecahkan triase menjadi 2 langkah. Sortasi pertama, di
dimana pasien yang bisa berjalan dinilai terakhir, mereka yang tidak bisa
Berjalan tapi bisa gelombang / sengaja merespon dinilai kedua, dan itu
Pasien yang masih / tidak responsif segera terlihat. Menilai dan
Perawatan menyelamatkan nyawa berikutnya. Pasien di
tag sebagai hijau jika mereka bisa taat perintah atau dapat pindah sesuai arahan atau tujuan, memiliki
denyut nadi, tidak dalam gangguan pernafasan, tidak mengalami pendarahan, dan
hanya terdapat luka ringan. Ini jelas membutuhkan lebih banyak interpretasi dari bagan. Pasien berwarna kuning jika memenuhi semua kriteria hijau, namun cedera tidak dianggap minor. Jika jawabannya tidak sesuai dengan kriteria hijau dan pasien kemungkinan akan bertahan hidup mengingat sumber daya (kontrol perdarahan, penekanan dada, penangkal antoinotoksik, dan jalan nafas terbuka), maka pasien diterapi dengan warna merah (Bhalla MC. Et.al, 2015)
Step 1 : SORT
SALT dimulai dengan menyortir pasien secara global melalui penilaian korban secara individu. Pasien yang bisa berjalan diminta untuk berjalan ke suatu area tertentu dan dikaji pada prioritas terakhir untuk penilaian individu. Penilaian kedua dilakukan pada korban yang diminta untuk tetap mengikuti perintah atau di kaji kemampuan gerakan secara terarah / gerakan bertujuan. Pada korban yang tetap diam tidak bergerak dari tempatnya dan dengan kondisi yang mengancam nyawa yang jelas harus dinilai pertama karena pada korban tersebut yang paling membutuhkan intervensi untuk penyelamatan nyawa (Nuris Kushayati)
Step 2 : ASSES
Prioritas pertama selama penilaian individu adalah untuk memberikan intervensi menyelamatkan nyawa. Termasuk mengendalikan perdarahan utama; membuka jalan
napas pasien, dekompresi dada pasien dengan pneumotoraks, dan menyediakan penangkal untuk eksposur kimia. Intervensi ini diidentifikasi karena injury tersebut dapat dilakukan dengan cepat dan dapat memiliki dampak yang signifikan pada kelangsungan hidup pasien. (Nuris Kushayati)
Step 3: LIVE-SAVING- TREATMENT-TRASNPORT
Intervensi live saving yang harus diselesaikan sebelum menetapkan kategori triase dan hanya boleh dilakukan dalam praktek lingkup responder dan jika peralatan sudah tersedia. Setelah intervensi menyelamatkan nyawa disediakan, pasien diprioritaskan untuk pengobatan berdasarkan ke salah satu dari lima warna-kode kategori. Pasien yang mengalami luka ringan yang self-limited jika tidak diobati dan dapat mentolerir penundaan dalam perawatan tanpa meningkatkan risiko kematian harus diprioritaskan sebagai minimal dan harus ditunjuk dengan warna hijau. Pasien yang tidak bernapas bahkan setelah intervensi live saving yang diprioritaskan sebagai mati dan harus diberi warna hitam. Pasien yang tidak mematuhi perintah, atau tidak memiliki pulsa perifer, atau dalam gangguan pernapasan, atau perdarahan besar yang tidak terkendali harus diprioritaskan immediate dan harus ditunjuk dengan warna merah. Penyedia harus mempertimbangkan apakah pasien ini memiliki cedera yang mungkin tidak sesuai dengan kehidupan yang diberikan sumber daya yang tersedia, jika ada, maka provider harus triase pasien sebagai expectant /hamil dan harus ditunjuk dengan warna abu-abu. Para pasien yang tersisa harus diprioritaskan sebagai delayed dan harus ditunjuk dengan warna kuning (Nuris Kushayati).
 




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Teknis penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana: Jakarta. Hal (51-53).
Lerner, E. Brooke., Schwartz Richard B., McGovern, Joanne E. Prehospital Triage for Mass Casualties. Chapter 2. Retreived From: http://emergencymedicine.health.pitt.edu/sites/default/files/4.2%20Prehospital%20Triage%20for%20Mass%20Casualties_0.pdf. Diakses pada 14 Maret 2018
Bhalla MC, Frey J, Rider C, Nord M, Hegerhorst M. 2015. Lifesaving, Interventions, Treatment, and Transportation mass casualty triage methods for sensitivity, specificity, and predictive values. American Journal of Emergency Medicine 33 (2015) 1687–1691: Elsevier.
Nuris Kushayati, Analisis Metode Triage Prehospital pada Insiden Korban Masal (Mass Casualty Incident).
Ramsi, Irhash. F. 2014. Basic Life Support: Buku Panduan Edisi 13. Jakarta:EGC.
Tyas, Maria, D.C.2016. Keperawatan Kegawatadaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.