1.
Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD)
Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang bersifat kompleks
karena gejala-gejala yang nampak menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi,
kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain, (Solichah, 2013).
National
Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa
kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam
keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan
kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid,
2005). Dengan demikian PTSD dapat meliputi kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang,
misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse, atau perang
(Nawangsih, 2014).
Trauma yang ditinggalkan akan
terus hidup dalam diri korban selamat yang mengalami langsung peristiwa
mengerikan itu. Tanpa penanganan kejiwaan secara terpadu maka akan muncul kecenderungan
Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD). Gangguan stres pasca trauma kemungkinan
berlangsung berbulan- bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan
mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan
terhadap peristiwa traumatic. Poerwandari (2006) mengungkapkan ciri-ciri
individu yang mengalami PTSD diantaranya kesulitan mengendalikan emosi/perasaan
(mudah marah, mudah tersinggung, sedih yang berlarut larut), kesulitan untuk
berkonsentrasi atau berpikir jernih (melamun), ketakutan, mimpi buruk, gangguan
tidur, ingatan peristiwa masa lalu yang mencengkeram, gangguan makan, dan
merasa terganggu bila diingatkan. Artinya berbagai peristiwa atau kejadian yang
dialami remaja akan berpengaruh dalam proses perkembangan berikutnya (Tentama,
2014).
Kriteria diagnostik untuk
gangguan stres pascatrauma (PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual
of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi
traumatik seseorang adalah sebagai berikut (Nawangsih, 2014):
a.
Orang yang
mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua orang. Peristiwa
traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat kembali
peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang berulang tentang
peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau tindakan mendadak seolah-olah
peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amant sangat karena
terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b.
Pengelakan yang
menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau kelumpuhan yang
bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada sebelum trauma itu).
c.
Keadaan ini paling
tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa:
upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma
itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan
terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting
dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa
terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak mempunyai masa
depan.
Gangguan PTSD yang dialami individu akan berdampak
juga pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut (Nawangsih,
2014) :
a.
PTSD memiliki
gejala yang menyebabkan gangguan, umumnya gangguan tersebut adalah panic attack
(serangan panik), perilaku menghindar, depresi, merasa disisihkan dan sendiri,
merasa tidak percaya dan dikhianati, mudah marah, mengalami gangguan yang
berarti dakan kehidupan sehari-hari.
b.
Panic attack
(serangan panik), khususnya pada anak atau remaja yang mempunyai pengalaman
traumatik dapat mengalami serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada
sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan
yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik dan
psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar,
sesak nafas, sakit dada, sakit perut, merasa kedinginan, badan panas, mati
rasa.
c.
Depresi. Banyak
orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman traumatik dan menjadi tidak
tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita
mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri
sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kesalahannya,
walaupun semua itu tidak benar.
d.
Memiliki pemikiran
negatif. Kadang- kadang orang yang sedang mengalami depresi merasakan bahwa
kehidupan- nya sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50%
korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
e.
Merasa diri
disisihkan. Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi
mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut,
umumnya penderita mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan
mendapatkan pertolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang ia telah alami.
f.
Merasa dirinya
tidak percaya dan perasaan dikhianati. Setelah mengalami pengalaman yang
menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain
dan merasa dikhianati atau ditipu oleh ingkungan disekitarnya, atau oleh nasib,
atau oleh Tuhan.
g.
Persepsi dan
kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang
menyakitkan, seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang
aneh, misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau berkomunikasi dengan
orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai
halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
Dari beberapa
penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan
bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan
rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan
kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur
lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan
neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan
dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi
untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap
orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat
aktivasi system amigdala.
2.
Acute Stress Disorder (ASD)
Efek dari stres dapat
menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi maladaptif terhadap
stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai kesulitan untuk menyesuaikan
diri dengan stresor dalam hidup, seperti masalah pekerjaan, perceraian,
penyakit kronis, atau rasa duka cita yang mendalam setelah mengalami
kehilangan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute
stress disorder/ASD). ASD adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada
bulan pertama sesudah pengalaman traumatis (Nawangsih, 2014).
Setelah kehilangan mendadak, cedera atau penyakit yang
rumit, seseorang dapat melalui periode sekitar satu bulan di mana mereka
mengalami perasaan takut, tidak berdaya atau kengerian serta beberapa gejala
fisik. Ini dikenal sebagai Acute Stress Disorder. Perasaan stres dan kesedihan
ini diharapkan selama waktu tersebut dan biasanya hilang setelah seseorang
memiliki kesempatan untuk merasa lebih baik tentang diri mereka dan masa depan.
Jika gejala bertahan lebih dari sebulan, seseorang dapat mengembangkan Gangguan
Stres Pascatrauma (PTSD) dan mungkin memerlukan konseling jangka panjang
(Association of Traumatic Stress Spicialis, 2002).
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah
factor resiko mayor untuk PTSD, karena
banyak orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD. Gangguan stress akut (acute stress
disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive yang terjadi pada bulan pertama
pada pengalaman traumatis. Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan- bulan,
bertahun-tahun, atau sampai beberapa decade dan mungkin baru muncul setelah
beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis
(Jeffrey, et.al.2009)
Acut
Stress Disorder awalnya
diperkenalkan karena dua alasan (Bryant, R.A., 2011).:
a.
Untuk menggambarkan
reaksi stres akut parah yang terjadi pada bulan pertama setelah trauma yang
tidak dapat digambarkan sebagai PTSD, yang hanya dapat didiagnosis setelah satu
bulan telah terjadi sejak trauma
b.
Untuk mengidentifikasi
orang yang mengalami trauma akut yang kemudian akan mengembangkan PTSD sebagai
lawan untuk mengalami reaksi stres sementara (Spiegel et al., 1996). Untuk
memenuhi kriteria untuk diagnosis ASD di DSM-IV, seseorang perlu mengalami
peristiwa traumatis dan merespons dengan ketakutan, horor, atau tidak berdaya
(Kriteria A), dan mirip dengan PTSD, diperlukan untuk memenuhi re-mengalami
(Kriteria C), penghindaran (Kriteria D), dan klausa gejala gairah (Kriteria E).
ASD secara nyata dibedakan dari PTSD dengan penekanan kuat pada disosiasi akut,
seperti yang diperlukan untuk memiliki setidaknya tiga gejala berikut: mati
rasa emosional, derealisasi, depersonalisasi, mengurangi kesadaran lingkungan,
atau amnesia disosiatif (Kriteria B). Penekanan pada disosiasi ini sebagian
besar didasarkan pada perspektif bahwa tanggapan disosiatif terhadap trauma
sangat penting dalam psikopatologi jangka panjang (Harvey dan Bryant, 2002).
Diagnosis ASD menggambarkan reaksi
stres akut dan memprediksi PTSD selanjutnya dievaluasi. Studi dipilih yang
dinilai untuk ASD dalam 1 bulan paparan trauma dan dinilai pada waktu kemudian
untuk PTSD menggunakan ukuran yang ditetapkan dari ASD dan PTSD. Untuk setiap
studi, kapasitas diagnosis ASD untuk memprediksi PTSD dihitung dalam hal
sensitivitas, spesifisitas, dan kekuatan prediktif positif dan negatif.
Diagnosis ASD mengakibatkan setengah tingkat orang yang mengalami gangguan pada
fase akut yang diidentifikasi relatif termasuk kasus dengan ASD subsindromal.
Dalam hal prediksi, diagnosis ASD memiliki kekuatan prediktif positif yang
wajar (proporsi orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD). Sebaliknya,
sensitivitasnya buruk (proporsi orang yang mengembangkan PTSD yang awalnya
memenuhi kriteria untuk ASD). Diagnosis ASD tidak cukup mengidentifikasi
mayoritas orang yang akhirnya akan mengembangkan PTSD. Ada kebutuhan untuk
secara formal menggambarkan reaksi stres akut tetapi ini dapat dicapai lebih
berguna dengan menggambarkan berbagai reaksi awal daripada mencoba untuk
memprediksi PTSD (Bryant, R.A., 2011).
ASD diperkenalkan ke
DSM-IV untuk menggambarkan reaksi stres akut yang terjadi pada bulan pertama
setelah terpapar peristiwa traumatis dan sebelum kemungkinan mendiagnosis PTSD,
dan untuk mengidentifikasi korban trauma pada fase akut yang berisiko tinggi
untuk PTSD. Tinjauan ini menganggap ASD dalam kaitannya dengan pendekatan
diagnostik lain untuk respons stres akut, mengkritik bukti kekuatan prediktif
ASD, dan membahas ASD dalam kaitannya dengan penyesuaian gangguan (Bryant,
et.al. 2011)
Ciri-ciri reaksi stres ASD
dan PTSD mempunyai banyak ciri dan simtom yang sama, beberapa ciri yang sama
adalah mengalami kembali peristiwa traumatis, menghindari petunjuk atau stimuli
yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut, mati rasa dalam responsivitas
secara umum atau dalam segi emosional, gangguan fungsi atau distres emosional
yang penting. Sedangkan perbedaan utama antara kedua gangguan tersebut adalah
pada ASD penekanannya ada pada disosiasi, yaitu perasaan asing terhadap diri
sendiri atau terhadap lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan stress
akut mungkin merasakan dunia ini seolah- olah sebagai suatu tempat dalam mimpi
atau suatu tempat yang tidak nyata. Dalam gangguan stres akut (ASD), individu
mungkin juga tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya
mendapatkan bantuan medis atau bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005).
Kriteria diagnostik untuk
gangguan stres akut (ASD) berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of
Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi
traumatik seseorang adalah sebagai berikut (Nawangsih, 2014):
a.
Orang yang
terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri berikut ini
dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan
kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau
cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang
lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau
selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan.
b.
Merupakan salah
satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian
yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau lebih gejala disosiatif
yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada responsivitas emosi, penurunan
kesadaran sekelilingnya, derealisasi, depersonalisasi, amnesia disosiatif
(tidak mampu mengingat aspek penting dari trauma).
c.
Kejadian traumatik
yang secara bertahap dialami kembali dalam sekurangnya salah satu dari trauma
yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul kembali,
pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian traumatik.
d.
Penghindaraan pada
stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (pikiran, perasaan, percakapan,
aktivitas, tempat, orang).
e.
Gejala kecemasan
yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan berlebihan, sulit tidur,
iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
f.
Gangguan
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan individu untuk
mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau
menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga
tentang pengalaman traumatik.
g.
Bukan efek
fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan, medikasi) atau
kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik
singkat.
Gangguan Stres Akut meliputi:
a.
Perasaan gelisah atau panik.
b.
Perasaan mati rasa, menjadi
linglung atau kaget atas apa yang telah terjadi.
c.
Perasaan putus asa
d.
Tidak mengingat tentang
bagian-bagian tragedi yang dialami
e.
Kesulitan berkonsentrasi
saat mencoba melakukan hal-hal lain (yaitu, membaca atau menonton TV).
f.
Kesulitan jatuh atau tetap
tertidur.
g.
Mimpi buruk saat tidur.
h.
Berkhayal dan berpikir
tentang acara tanpa henti serta hal-hal yang bisa, seharusnya atau mungkin
berbeda.
i.
Kehilangan minat dalam
pekerjaan, bersosialisasi atau kegiatan lain yang sebelumnya dinikmati.
j.
Kesulitan menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan tragedi atau dalam memperoleh sumber daya yang
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Tentama, Fatwa. 2014. Memahami Gangguan
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pasca Bencana. URL: http://eprints.uad.ac.id/2763/1/Memahami%20Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma.pdf
Nawangsih, Endah. 2014. Play Therapy Untuk
anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress
Disorder/PTSD) URL: http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/psy/article/view/475
Association of Traumatic Stress Spicialis, 2002. Acute
Stress: Reactions after a Traumatic Experience. URL: http://angermanage.co.uk/pdfs/Acute%20Stress.pdf
Bryant, R.A. (2011). Acute
stress disorder as a predictor of posttraumatic stress disorder: A systematic review. Journal of Clinical Psychiatry, 72, 233-239.
Bryant, R.A. 2013. An
Update of Acute
Stress Disorder. Volume 24/ No. 1 • ISSN: 1050 -1835 • 2013
Bryant, R.A., Friedman, M.J., Spiegel, D., Ursano, R., and Strain, J.
(2011). A review of acute stress
disorder in DSM-5. Depression and Anxiety, 28, 802-817
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus,
Beverly Greene. 2009.Psikologi Abnormal/Edisi
Kelima/Jilid 1: Erlangga,), 174. Retreived from: http://digilib.uinsby.ac.id/8632/4/Bab2.pdf
Lanjutkan 👍 sangat bermanfaat
BalasHapus