Rabu, 25 Juli 2018

Mengenal Macam-Macam Gangguan Mental


1.      Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)



Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang bersifat kompleks karena gejala-gejala yang nampak menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain, (Solichah, 2013).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid, 2005). Dengan demikian PTSD dapat meliputi kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse, atau perang (Nawangsih, 2014).
Trauma yang ditinggalkan akan terus hidup dalam diri korban selamat yang mengalami langsung peristiwa mengerikan itu. Tanpa penanganan kejiwaan secara terpadu maka akan muncul kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorders (PTSD). Gangguan stres pasca trauma kemungkinan berlangsung berbulan- bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatic. Poerwandari (2006) mengungkapkan ciri-ciri individu yang mengalami PTSD diantaranya kesulitan mengendalikan emosi/perasaan (mudah marah, mudah tersinggung, sedih yang berlarut larut), kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih (melamun), ketakutan, mimpi buruk, gangguan tidur, ingatan peristiwa masa lalu yang mencengkeram, gangguan makan, dan merasa terganggu bila diingatkan. Artinya berbagai peristiwa atau kejadian yang dialami remaja akan berpengaruh dalam proses perkembangan berikutnya (Tentama, 2014).
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma (PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut  (Nawangsih, 2014):
a.       Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua orang. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau tindakan mendadak seolah-olah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b.      Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada sebelum trauma itu).
c.       Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak mempunyai masa depan.
Gangguan PTSD yang dialami individu akan berdampak juga pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut (Nawangsih, 2014) :
a.       PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan, umumnya gangguan tersebut adalah panic attack (serangan panik), perilaku menghindar, depresi, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak percaya dan dikhianati, mudah marah, mengalami gangguan yang berarti dakan kehidupan sehari-hari.
b.      Panic attack (serangan panik), khususnya pada anak atau remaja yang mempunyai pengalaman traumatik dapat mengalami serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
c.       Depresi. Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
d.      Memiliki pemikiran negatif. Kadang- kadang orang yang sedang mengalami depresi merasakan bahwa kehidupan- nya sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
e.       Merasa diri disisihkan. Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami.
f.        Merasa dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati. Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh ingkungan disekitarnya, atau oleh nasib, atau oleh Tuhan.
g.      Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.  

2.      Acute Stress Disorder (ASD)
Efek dari stres dapat menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi maladaptif terhadap stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan stresor dalam hidup, seperti masalah pekerjaan, perceraian, penyakit kronis, atau rasa duka cita yang mendalam setelah mengalami kehilangan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute stress disorder/ASD). ASD adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan pertama sesudah pengalaman traumatis (Nawangsih, 2014).
Setelah kehilangan mendadak, cedera atau penyakit yang rumit, seseorang dapat melalui periode sekitar satu bulan di mana mereka mengalami perasaan takut, tidak berdaya atau kengerian serta beberapa gejala fisik. Ini dikenal sebagai Acute Stress Disorder. Perasaan stres dan kesedihan ini diharapkan selama waktu tersebut dan biasanya hilang setelah seseorang memiliki kesempatan untuk merasa lebih baik tentang diri mereka dan masa depan. Jika gejala bertahan lebih dari sebulan, seseorang dapat mengembangkan Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD) dan mungkin memerlukan konseling jangka panjang (Association of Traumatic Stress Spicialis, 2002).
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko mayor untuk  PTSD, karena banyak orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD.  Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive yang terjadi pada bulan pertama pada pengalaman traumatis. Berlawanan dengan  ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan- bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa decade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Jeffrey, et.al.2009)
Acut Stress Disorder awalnya diperkenalkan karena dua alasan (Bryant, R.A., 2011).:
a.       Untuk menggambarkan reaksi stres akut parah yang terjadi pada bulan pertama setelah trauma yang tidak dapat digambarkan sebagai PTSD, yang hanya dapat didiagnosis setelah satu bulan telah terjadi sejak trauma
b.      Untuk mengidentifikasi orang yang mengalami trauma akut yang kemudian akan mengembangkan PTSD sebagai lawan untuk mengalami reaksi stres sementara (Spiegel et al., 1996). Untuk memenuhi kriteria untuk diagnosis ASD di DSM-IV, seseorang perlu mengalami peristiwa traumatis dan merespons dengan ketakutan, horor, atau tidak berdaya (Kriteria A), dan mirip dengan PTSD, diperlukan untuk memenuhi re-mengalami (Kriteria C), penghindaran (Kriteria D), dan klausa gejala gairah (Kriteria E). ASD secara nyata dibedakan dari PTSD dengan penekanan kuat pada disosiasi akut, seperti yang diperlukan untuk memiliki setidaknya tiga gejala berikut: mati rasa emosional, derealisasi, depersonalisasi, mengurangi kesadaran lingkungan, atau amnesia disosiatif (Kriteria B). Penekanan pada disosiasi ini sebagian besar didasarkan pada perspektif bahwa tanggapan disosiatif terhadap trauma sangat penting dalam psikopatologi jangka panjang (Harvey dan Bryant, 2002).
Diagnosis ASD menggambarkan reaksi stres akut dan memprediksi PTSD selanjutnya dievaluasi. Studi dipilih yang dinilai untuk ASD dalam 1 bulan paparan trauma dan dinilai pada waktu kemudian untuk PTSD menggunakan ukuran yang ditetapkan dari ASD dan PTSD. Untuk setiap studi, kapasitas diagnosis ASD untuk memprediksi PTSD dihitung dalam hal sensitivitas, spesifisitas, dan kekuatan prediktif positif dan negatif. Diagnosis ASD mengakibatkan setengah tingkat orang yang mengalami gangguan pada fase akut yang diidentifikasi relatif termasuk kasus dengan ASD subsindromal. Dalam hal prediksi, diagnosis ASD memiliki kekuatan prediktif positif yang wajar (proporsi orang dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD). Sebaliknya, sensitivitasnya buruk (proporsi orang yang mengembangkan PTSD yang awalnya memenuhi kriteria untuk ASD). Diagnosis ASD tidak cukup mengidentifikasi mayoritas orang yang akhirnya akan mengembangkan PTSD. Ada kebutuhan untuk secara formal menggambarkan reaksi stres akut tetapi ini dapat dicapai lebih berguna dengan menggambarkan berbagai reaksi awal daripada mencoba untuk memprediksi PTSD (Bryant, R.A., 2011).
ASD diperkenalkan ke DSM-IV untuk menggambarkan reaksi stres akut yang terjadi pada bulan pertama setelah terpapar peristiwa traumatis dan sebelum kemungkinan mendiagnosis PTSD, dan untuk mengidentifikasi korban trauma pada fase akut yang berisiko tinggi untuk PTSD. Tinjauan ini menganggap ASD dalam kaitannya dengan pendekatan diagnostik lain untuk respons stres akut, mengkritik bukti kekuatan prediktif ASD, dan membahas ASD dalam kaitannya dengan penyesuaian gangguan (Bryant, et.al. 2011)
Ciri-ciri reaksi stres ASD dan PTSD mempunyai banyak ciri dan simtom yang sama, beberapa ciri yang sama adalah mengalami kembali peristiwa traumatis, menghindari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut, mati rasa dalam responsivitas secara umum atau dalam segi emosional, gangguan fungsi atau distres emosional yang penting. Sedangkan perbedaan utama antara kedua gangguan tersebut adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi, yaitu perasaan asing terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan stress akut mungkin merasakan dunia ini seolah- olah sebagai suatu tempat dalam mimpi atau suatu tempat yang tidak nyata. Dalam gangguan stres akut (ASD), individu mungkin juga tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya mendapatkan bantuan medis atau bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005).
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres akut (ASD) berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut (Nawangsih, 2014):
a.    Orang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan.
b.   Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau lebih gejala disosiatif yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada responsivitas emosi, penurunan kesadaran sekelilingnya, derealisasi, depersonalisasi, amnesia disosiatif (tidak mampu mengingat aspek penting dari trauma).
c.    Kejadian traumatik yang secara bertahap dialami kembali dalam sekurangnya salah satu dari trauma yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul kembali, pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian traumatik.
d.   Penghindaraan pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
e.    Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan berlebihan, sulit tidur, iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
f.     Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
g.   Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat.
Gangguan Stres Akut meliputi:
a.    Perasaan gelisah atau panik.
b.   Perasaan mati rasa, menjadi linglung atau kaget atas apa yang telah terjadi.
c.    Perasaan putus asa
d.   Tidak mengingat tentang bagian-bagian tragedi yang dialami
e.    Kesulitan berkonsentrasi saat mencoba melakukan hal-hal lain (yaitu, membaca atau   menonton TV).
f.     Kesulitan jatuh atau tetap tertidur.
g.   Mimpi buruk saat tidur.
h.   Berkhayal dan berpikir tentang acara tanpa henti serta hal-hal yang bisa, seharusnya atau mungkin berbeda.
i.     Kehilangan minat dalam pekerjaan, bersosialisasi atau kegiatan lain yang sebelumnya dinikmati.
j.     Kesulitan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tragedi atau dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA
Tentama, Fatwa. 2014. Memahami Gangguan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pasca Bencana. URL: http://eprints.uad.ac.id/2763/1/Memahami%20Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma.pdf
Nawangsih, Endah. 2014. Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) URL: http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/psy/article/view/475
Association of Traumatic Stress Spicialis, 2002. Acute Stress: Reactions after a Traumatic Experience. URL: http://angermanage.co.uk/pdfs/Acute%20Stress.pdf
Bryant, R.A. (2011). Acute stress disorder as a predictor of posttraumatic stress disorder: A systematic review. Journal of Clinical Psychiatry, 72, 233-239.
Bryant, R.A. 2013. An Update of Acute Stress Disorder. Volume 24/ No. 1 • ISSN: 1050 -1835 • 2013
Bryant, R.A., Friedman, M.J., Spiegel, D., Ursano, R., and Strain, J. (2011). A review of acute stress disorder in DSM-5. Depression and Anxiety, 28, 802-817
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2009.Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 1: Erlangga,), 174. Retreived from: http://digilib.uinsby.ac.id/8632/4/Bab2.pdf