Mengenal Pre Eklampsia
Preeklampsia adalah sindroma spesifik pada kehamilan
berupa berkurangnya perfusi plasenta akibat vasospasme dan aktivasi endotel
yang akhirnya dapat mempengaruhi seluruh sistem organ, ditandai dengan
hipertensi dan proteinuria pada pertengahan akhir kehamilan atau diatas 20
minggu kehamilan (Kusnarman Keman, 2014).
Klasifikasi
Pre Eklampsia
Pre
eklampsia digolongkan ke dalam pre eklampsia ringan dan pre eklampsia berat
dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
1. Pre
Eklampsia Ringan
a.
Tekanan
darah sistole 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam
b.
Tekanan
darah diastole 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam
c.
Kenaikan
berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu. Edema umum, kaki, jari tangan dan
muka
d.
Proteinuria
0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif 1 sampai 2 pada urin kateter atau
urin aliran pertengahan
2. Pre
Eklampsia Berat
a.
Tekanan
darah 160/110 mmHg
b.
Ibu
hamil dalam keadaan relaksasi (pngukuran tekanan darah minimal setelah
istirahat 10 menit)
c.
Ibu
hamil tidak dalam keadaan his
-
Oigouria,
urin kurang dari 500 cc/24jam
-
Proteinuria
5 gr/liter atau lebih dari 4+ pada pemeriksaan secara kuantitatif
-
Terdapat
edema paru dan sianosis
-
Gangguan
visus dan serebral
-
Keluhan
subjektif
d.
Nyeri
epigastrium
e.
Gangguan
penglihatan
f.
Nyeri
kepala
g.
Gangguan
pertumbuhan janin intrauteri
h.
Pemeriksaan
trombosit. (Varney,Helen,2006)
Kriteria preeklampsia menurut Working Group National High
Blood Pressure Education Program (NHBPEP) tahun 2000 yang masih dipakai hingga
saat ini (Kusnarman Keman,2014).
Etiologi
Preeklampsia
Terdapat beberapa teori yang diduga
sebagai etiologi dari preeklampsia, meliputi (Pribadi, A., et al., 2015) :
1) Abnormalitas
invasi tropoblas
Invasi
tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini
mengakibatkan darah menuju lakuna hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan
bila jangka waktu lama mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta.
Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang
menambah berat hipoksia. Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan
terlepas dan memasuki darah ibu yang memicu gejala klinis preeklampsia.
(Pribadi, A, et al, 2015).
2) Maladaptasi
imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal
Berawal
pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan terjadi
preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini disebabkan
karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta dan
adiposit (Redman, 2014).
3) Maladaptasi
kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan normal.
4) Faktor
genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.
Dari
sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit multifaktorial dan
poligenik. Predisposisi herediter untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil
interaksi dari ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun
paternal yang mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem
organ. Faktor plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia. (McKenzie,
2012).
Pada
ulasan komprehensifnya, Ward dan Taylor (2014) menyatakan bahwa insidensi
preeklampsia bisa terjadi 20 sampai 40 persen pada anak perempuan yang ibunya
mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara perempuan yang mengalami
preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada orang kembar.
5) Faktor
nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
John et
al (2002) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi sayuran dan buah-buahan
yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan turunnya tekanan darah. Penelitian
yang dilakukan Zhang et al (2002)
menyatakan insidensi preeklampsia meningkat dua kali pada wanita yang
mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg.
Faktor
resiko
Faktor resiko dan berpengaruh
terhadap progresifitas preeklampsia (Pribadi, A. et al, 2015) :
a. Faktor
usia ibu
Usia
20 – 35 tahun adalah periode paling aman untuk hamil / melahirkan, akan tetapi
di negara berkembang sekitar 10% - 20% bayi dilahirkan dari ibu remaja yang
sedikit lebih besar dari anak-anak. Padahal dari suatu penelitian ditemukan
bahwa dua tahun setelah menstruasi yang pertama, seorang wanita masih mungkin
mencapai pertumbuhan panggul antara 2 – 7 % dan tinggi badan 1 %. Dampak dari
usia yang kurang, dari hasil penelitian di Nigeria, wanita usia 15 tahun
mempunyai angka kematian ibu 7 kali lebih besar dari wanita berusia 20-24 tahun
(Harrison, 1985).
Dari hasil penelitian
Rozikhan (2007), ibu yang hamil pada usia < 20 tahun dan mempunyai resiko
terjadinya preeklamsia berat 3,58 kali dibandingkan ibu hamil yang berusia
20-35 tahun. Sedangkan pada ibu hamil dengan usia > 35 tahun juga memiliki
resiko 3,97 kali dibandingkan ibu hamil pada usia 20-35 tahun. Selain itu ibu
hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat
kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih berisiko
untuk terjadi preeklamsi
(Rochjati, 2003).
b. Paritas
Kira-kira
85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan paritas
paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada
grandemultigravida. Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4 tahun juga dapat
berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003)
Faktor yang mempengaruhi
pre-eklampsia frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda (Rozikhan, 2007). Persalinan yang
berulang-ulang akan mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah terbukti
bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman.
c. Usia
kehamilan
d. Indeks
Massa Tubuh (IMT).
Nilai IMT diatas 30 dengan kategori obesitas, resiko
preeklampsia meningkat menjadi 4 kali lipat. Status
gizi adalah suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh sebagai akibat pemasukan
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang digunakan oleh tubuh untuk
kelangsungan hidup dalam mempertahankan fungsi-fungsi organ tubuh. Cara
penilaian status gizi wanita hamil meliputi, evaluasi terhadap faktor resiko,
diet, pengukuran antropometrik dan biokimiawi. Antropometri sebagai indicator
status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari tubuh
antara lain : umur, berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan
atas, lingkar dada, lingkar kepala, lingkar pinggul dan
tebal lemak (Arisman, 2002).
Dalam
penelitian Rozikhan (2007) ukuran status gizi responden pada saat dilakukan
pendataan dengan melihat indek masa tubuh dengan penilaian : IMT <25 adalah
normal, IMT >25 adalah overweight,
atau dengan mengukur Lingkar lengan atas ( LILA ), ukuran normal lingkar lengan
atas (LILA) 23,5 cm-25 cm dan Obesitas dengan ukuran LILA > 25 cm.
Kegemukan
disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga menyebabkan kerja
jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam badan sekitar
15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula jumlah darah
yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi pemompaan
jantung. Sehingga dapat menyumbangkan terjadinya preeklampsia (Rozikhan, 2007).
a. Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak
yang berlebihan di dalam tubuh. Obesitas merupakan masalah gizi karena
kelebihan kalori, biasanya disertai kelebihan lemak dan protein hewani,
kelebihan gula dan garam yang kelak bisa merupakan faktor risiko terjadinya
berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi,
penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan
gangguan kesehatan lain. Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko
preeklamsia bersifat progresif,
meningkat dari 4,3%
untuk wanita dengan indeks massa
tubuh kurang dari 19,8
kg/m2 terjadi peningkatan
menjadi 13,3 %
untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2 (Cunningham, 2006).
b. Hiperplasentosis
/kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan
trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya preeklamsi,
karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat mengakibatkan terjadinya vasospasme,
dan vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis
tersebut misalnya: kehamilan multiple, diabetes melitus, bayi besar, 70%
terjadi pada kasus molahidatidosa (Prawirohardjo, 2008).
c. Genetik
Terdapat
bukti bahwa pre-eklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini
lebih sering ditemukan pada anak wanita
dari ibu penderita
pre- eklampsia atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga
(Manuaba,1998)
Faktor
ras dan genetik merupakan unsur yang penting karena mendukung insiden
hipertensi kronis yang mendasari. Kami menganalisa kehamilan pada 5.622
nullipara yang melahirkan di Rumah Sakit Parkland dalam tahun 1986 dan 18%
wanita kulit putih, 20% wanita Hispanik serta 22% wanita kulit hitam menderita
hipertensi yang memperberat kehamilan (Cuningham, 1995). Insiden hipertensi dalam kehamilan untuk
multipara adalah 6,2% pada kulit putih, 6,6% pada Hispanik, dan 8,5% pada kulit
hitam, yang menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih sering terkena penyakit
hipertensi yang mendasari. Separuh lebih dari multipara dengan hipertensi juga
menderita proteinuria dan karena menderita superimposed preeclampsia.
Genotip
ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familia jika dibandingkan dengan genotip janin.
Telah terbukti pada ibu yang mengalami preeklamsi 26% anak perempuannya akan
mengalami preeklamsi pula, sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsi.
Karena biasanya kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi
uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat
menyebabkan terjadinya vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya
preeklamsi/eklamsi (Wiknjosastro, 2008; Cunningham, 2008).
d. Riwayat Hipertensi
Salah
satu faktor predisposisi terjadinya pre-eklampsia atau eklampsia adalah adanya
riwayat hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau
hipertensi esensial. Sebagian besar kehamilan dengan hipertensi esensial
berlangsung normal sampai cukup bulan. Pada kira-kira sepertiga diantara para
wanita penderita tekanan darahnya tinggi setelah kehamilan 30 minggu tanpa
disertai gejala lain. Kira- kira 20% menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok
dan dapat disertai satu gejala preeklampsia atau lebih, seperti edema,
proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah, gangguan visus
(Supperimposed preeklampsia), bahkan dapat timbul eklampsia dan perdarahan
otak. (Benzion, 1994).
Riwayat hipertensi adalah
ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil atau sebelum umur kehamilan
20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko lebih besar mengalami
preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal
lebih tinggi. Diagnosa preeklamsia ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan
darah yang disertai dengan proteinuria atau edema anasarka (Cunningham, 2006). Hipertensi karena kehamilan paling sering
mengenai wanita nullipara. Wanita yang lebih tua, yang dengan bertambahnya usia
akan menunjukkan peningkatan insiden hipertensi kronis, menghadapi risiko yang
lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan atau superimposed
pre-eclampsia. Jadi wanita yang berada pada awal atau akhir usia reproduksi,
dahulu dianggap rentan
e. Kehamilan
multifetal
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih
sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6%
preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan
tunggal dan sebagai faktor penyebabnya ialah distensia uterus. Dari penelitian
Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4,0%) kasus
preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada
kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu
(Rozikhan, 2007)
f.
Pemeriksaan Antenatal
Preeklapmsia
dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan berkelanjutan, oleh karena itu
melalui antenatal care yang bertujuan untuk mencegah perkembangan preeklampsia,
atau setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga dapat mengurangi
kejadian kesakitan. Pada tingkat permulaan preeclampsia tidak memberikan
gejala-gejala yang dapat dirasakan oleh pasien sendiri, maka diagnosa dini
hanya dapat dibuat dengan antepartum care. Jika calon ibu melakukan kunjungan
setiap minggu ke klinik prenatal selama 4-6 minggu terakhir kehamilannya, ada
kesempatan untuk melekukan tes proteinuri, mengukur tekanan darah, dan
memeriksa tanda-tanda udema. Setelah
diketahui diagnosa dini
perlu segera dilakukan penanganan untuk mencegah masuk
kedalam eklampsia. Disamping
faktor-faktor yang sudah diakui, jelek tidaknya kondisi ditentukan juga
oleh baik tidaknya antenatal care. Dari 70% pasien
primigrafida yang menderita preeklampsia, 90% nya mereka tidak melaksanakan
atenatal care.
g. Pekerjaan
Aktifitas pekerjaan
seseorang dapat mempengaruhi kerja otot dan peredaran darah. Begitu juga bila
terjadi pada seorang ibu hamil, dimana peredaran darah dalam tubuh dapat
terjadi perubahan seiring dengan bertambahnya usia kehamilan akibat adanya
tekanan dari pembesaran rahim. Semakin bertambahnya usia kehamilan akan
berdampak pada konsekuensi kerja jantung yang semakin bertambah dalam rangka
memenuhi kebutuhan selama proses kehamilan. Oleh karenanya pekerjaan tetap
dilakukan, asalkan tidak terlalu berat dan melelahkan seperti pegawai kantor,
administrasi perusahaan atau mengajar. Semuanya untuk kelancaran peredaran
darah dalam tubuh sehingga
mempunyai harapan akan
terhindar dari preeklamsia (Rozikhan, 2007)
Faktor
resiko lain melliputi lingkungan, sosioekonomi, dan bisa juga pengaruh musim. (Cunningham
et al., 2014)
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
wanita yang sosial ekonominya lebih maju jarang terjangkit penyakit preeklamsi.
Preeklamsi/eklamsi dapat dicegah dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada
kalangan ekonomi yang masih rendah dan
pengetahuan yang kurang
seperti di negara
berkembang seperti Indonesia insiden
preeklamsi/eklamsi masih sering
terjadi (Cunningham, 2006).
Tanda dan gejala preeklamasi
a.
1. Hipertensi
Hipertensi
biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Bila peningkatan
tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester
pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita menderita
hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada
akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeklampsia.
Peningkatan
tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan
diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik
sekurang-kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg
atau lebih atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat
sebagai diagnose. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2
kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi
bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi
preeklampsia berat. (Benson, 1992)
2. Edema
Edema
ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan
biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada
kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka.
Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga
tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosa pre-eklampsia. Kenaikan berat
badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih diangap normal, tetapi bila
kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam sebulan pre-eklampsia
harus dicurigai. Atau bila terjadi pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg
tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda preeklampsia. Tambah
berat yang sekonyong konyong ini desebabkan retensi air dalam jaringan dan
kemudian oedema nampak dan edema tidak hilang dengan istirahat. Hal ini perlu
menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia. Edema dapat terjadi pada
semua derajat PIH (Hipertensi dalam kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai
sedikit diagnostik kecuali jika edemanya general. (FK Unpad, 1984)
3. Proteinuria
Proteinuria
berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam
air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 + (menggunakan
metode turbidimetrik standard) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang
dikeluarkan dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih
yang diambil minimal 2 kali dengan jarak 6 jam. Proteinuri biasanya timbul lebih
lambat dari hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering ditemukan pada
preeklampsia, rupa-rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darah ginjal.
Karena itu harus dianggap sebagai tanda
yang cukup serius. Disamping adanya gejala yang nampak
diatas pada keadaan yang lebih lanjut timbul gejala-gejala subyektif yang
membawa pasien ke dokter. (FK Unpad, 1982)
b.
Gejala
subyektif:
1. Sakit
kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.
2. Sakit
di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau
sakit kerena perubahan pada lambung.
3. Gangguan
penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang pasien buta.
Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae. Perubahan ini
dapat dilihat dengan ophtalmoscop.
4. Gangguan pernafasan sampai sianosis.
5. Pada
keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran
Patofisiologi
Preeklampsi
` Patofisiologi preeklampsia berhubungan dengan perubahan
fisiologi kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi
peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi, penurunan resistensi vascular
sistemik, peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid. Pada
preeklampsia, volume plasma yang beredar menurun, sehingga terjadi
hemokonsentrasi dan peningkatan hematocrit maternal. Perubahan ini membuat
perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta (Bobak,
et.al., 2004).
Vasopasme
merupakan dasar patofisiologi preeklampsia. Penyempitan vaskuler akan
menyebabkan resistensi aliran darah dan menyebabkan timbulnya hipertensi
arterial. Adanya dilatasi dan spasme yang bergantian pada satu segmen
kemunginan akan menjadi salah satu faktor kerusakan vaskuler, sebab intergritas
endotel dapat terganggu oleh segmen pembuluh darah yang melebar dan teregang.
Lebih lanjut, angiotensin ll mempunyai aksi langsung terhadap sel endotel
sehingga berkontraksi. Perubahan tersebut menyebabkan kerusakan atau kebocoran
antar sel endotel sehingga komponen darah seperti trombosit dan fibrinogen
tertimbun pada lapisan subendotel. Perubahan vaskuler tersebut bersama dengan
hipoksia jaringan disekitarnya akan mengarah pada perdarahan, nekrosis, dan
gangguan organ akhir yang lain. (Bawono, 2005).
Invasi Trofoblastik yang
Abnormal
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas
menginvasi arterispiralis uterus, mengganti lapisan endothelial dari arteri
tersebut dengan merusak jaringan elastis medial, muskular, dan neural secara
berurutan. Sebelum trimester kedua kehamilan berakhir, arteri spiralis uteri
dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel endothelial tidak lagi ada pada bagian
endometrium atau bagian superfisial dari miometrium. Proses remodeling arteri
spiralis uteri menghasilkan pembentukan sistem arteriolar yang rendah tahanan
serta mengalami peningkatan suplai volume darah yang signifikan untuk kebutuhan
pertumbuhan janin. Pada preeklampsia, segmen miometrium dari arteri secara
anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal dari
arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali lebih kecil
dari diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi. Kegagalan dalam
proses remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat terhadap kebutuhan
suplai darah janin yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi
integrin yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat
menjelaskan tidak sempurnanya remodeling arteri yang terjadi pada preeklampsia
(Akip, SD, 2015).
Terdapat fase istirahat hingga kehamilan
mencapai 14-16 minggu, tahap kedua terjadi invasi sel trofoblas ke dalam lumen
arteri spiralis hingga kedalaman miometrium. Kemudian proses berulang seperti
tahap pertama, yaitu penggantian sel endotel, rusaknya jaringan elastis dan
jaringan otot polos, dan penggantian material fibrinoid pada dinding arteri.
Akhir dari proses ini adalah dinding pembuluh darah menjadi tipis, otot dinding
arteri lemas berbentuk seperti kantung yang berdilatasi secara pasif untuk
menyesuaikan kebutuhan aliran darah ke janin (DeCherney AH,et.al., 2003, dalam
Giyanto, 2015).
Preeklampsia berkembang seiring dengan
kegagalan pada proses invaginasi plasenta. Pertama, tidak semua arteri spiralis
mengalami invasi oleh sel trofoblas. Kedua arteri yang mengalami invasi, pada
tahap pertama berjalan normal, tetapi pada tahap kedua tidak berlangsung normal
sehingga bagian arteri spiralis dalam myometrium tetap berbentuk dinding
muskuloelastis reaktif (DeCherney AH, et.al., 2003, dalam Giyanto, 2015).
Remodeling pembuluh darah pada kehamilan normal dan
preeklampsia/ eklampsia (Giyanto, 2015).
Preeklampsi
Normal
Sebagai
tambahan, arteriosis akut (isi seperti artherosklerosis) berkembang pada arteri
spiralis segmen miometrium pada penderita preeklampsia. Lesi ini menyebabkan
lumen arteri mengecil atau bahkan obliterasi mengakibatkan penurunan aliran
darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya infark plasenta. Pada
preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi
vaskuler disebabkan karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada
tahap kedua. Akibatnya terjadi gangguan aliran darah di daerah intervili yang
menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta (DeCherney AH, et.al. 2003,
dalam Giyanto, 2015). Hal ini dapat menimbulkan iskemia dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin hingga
kematian bayi (Canzoneri BJ, et.al., 2011 dalam Giyanto, 2015).
Hipoksia
plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti
sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah
ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di
mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress
oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat
merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut
disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh
darah pada organ-organ penderita preeklampsia (Tamsir, 2016).
Pada
disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak
sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan
vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga
akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan
kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga
terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan setelah
terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya
berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti (Tamsir, 2016). :
- Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
- Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema menyeluruh.
- Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
- Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
- Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
Selain
kerusakan endothelial, vasopasme arterial turut menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler. Keadaan ini meningkatkan edema dan lebih lanjut
menurunkan volume intravascular, mempresdiposisi pasien yang mengalami
preeklampsia mudah menderita edema paru. Preeklampisa merupakan keadaan
hiperdinamik dimana temuan khas hipertensi dan proteinuria merupakan akibat
hiperfungsi ginjal. Untuk mengendalikan sejumlah besar darah yang berperffusi
di ginjal, timbul reaksi vasopasme ginjal sebagai suatu mekanisme protektif,
tetapi hal ini akhirnya akan mengakibatkan proteinuria dan hipertensi (Bobak,
et.al., 2004).
Kerusakan
sel endotel akan mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin, karena endotel
merupakan tempat pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan
sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Prostasiklin
merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel yang berasal dari
asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh enzim
sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot
polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit
(Brinkman, 2001) dalam (Anggraeni, 2013).
Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem
koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral
pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara tromboksan dan prostasiklin (Brinkman, 2001 & Silver, et.al., 2002)
dalam (Anggraeni, 2013).
Kerusakan
endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi prostasiklin,
peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang kemudian akan
diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III shingga
terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A 2
dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel
(Anggraeni, 2013).
Tromboksan
A 2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan bantuan
enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan agregasi
trombosit prostasiklin dan tromboksan A 2 mempunyai efek yang berlawanan dalam
mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah
(Brinkman, 2001) dalam (Anggraeni, 2013).
Pencegahan
dan Penatalaksanaan Preeklampsi
1.
Pencegahan
Preeklampsi
Pencegahan atau diagnosis dini dapat
mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi
(janin). Untuk mencegah kejadian Pre eklampsia dapat dilakukan nasehat tentang
dan berkaitan dengan (Roeshadi, 2007)
:
a. Diet-makanan
Makan
makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin dan rendah lemak.
Kurangi garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi
pada empat sehat lima sempurna. Untuk meningkatkan jumlah protein dengan
tambahan satu butir telur setiap hari.
b. Cukup
istirahat
Istirahat
yang cukup pada saat hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya
disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring kearah kiri
sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
c. Pengawasan
antenatal (hamil)
Bila
terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat
pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian :
1)
Uji kemungkinan Pre eklampsia:
-
Pemeriksaan tekanan darah atau
kenaikannya
-
Pemeriksaan tinggi fundus uteri
-
Pemeriksaan kenaikan berat badan atau
edema
-
Pemeriksaan protein dalam urin
-
Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi
ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum dan pemeriksaan retina mata.
2)
Penilaian kondisi janin dalam
rahim.
-
Pemantauan tinggi fundus uteri
- Pemeriksaan janin: gerakan janin dalam
rahim, denyut jantung janin, pemantauan air ketuban
d. Jadwal
pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketa
Segera datang memeriksakan diri, bila
tedapat gejala sakit kepala, mata kabur, edema mendadak atau berat badan naik.
Pernafasan semakin sesak, nyeri ulu hati, kesadaran makin berkurang, gerak
janin berkurang, pengeluaran urin berkurang. Petunjuk untuk segera memasukkan
penderita ke rumah sakit atau merujuk penderita
Bila
tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
Protein
dalam urin 1 plus atau lebih
Kenaikan
berat badan ½ kg atau lebih dalam seminggu
Edema
bertambah dengan mendadak
Terdapat
gejala dan keluhan subjektif
2
Penatalaksanaan dan Penanganan Preeklampsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang
ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan
preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis
ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal
terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam
penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau
terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu
dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi
penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak
memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama (Prawirohardjo, 2005).
Pada dasarnya penanganan preeklampsia
terdiri atas pengobatan medik dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik
ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal yaitu sebelum janin mati
dalam kandungan, tetapi sudah cukup matur untuk hidup diluar uterus. Waktu
optimal tersebut tidak selalu dapat dicapai pada penanganan preeklampsia,
terutama bila janin masih sangat prematur. Dalam hal ini diusahakan dengan
tindakan medis untuk dapat menunggu selama mungkin, agar janin lebih matur
(Prawirohardjo, 2005).
Tujuan penanganan preeklamsi adalah (Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, 2012) :
a. Umtuk
melindungi ibu dari efek meningkatnya tekanan darah dan mencegah progresifitas
atau penyakit menjadi eclampsia dengan segala komplikasinya.
b. Untuk
mengatasi atau menurunkan resiko preeklampsi terhadap janin termasuk terjadinya
solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat, dan kematian janin intrauterine.
c. Untuk
melahirkan janin dengan cara yang paling aman bila diketahui resiko janin atau
ibu akan lebih berat bila kehamilan dilanjutkan.
Penatalaksanaan pada preeklamsi dibagi berdasarkan
berat dan ringannya preeklamsi, yaitu :
1. Preeklampsi
Ringan
Pada
preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan
penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala
seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri
meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien
dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah
sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan
klirens kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam
urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu (Prawirohardjo, Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3,
2005).
Perawatan
jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan
janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan
darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit
begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu).
Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit,
seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada
tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan (Prawirohardjo, Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3,
2005).
Medikasi
anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak dan usia
kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi
sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin
dan karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K dalam janin. Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan
seminggu 2 kali dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non
reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik
dan oksitosin challenge test.
Amniosentesis untuk mengetahui rasio Lesitin : Sfingomielin (L: S ratio) tidak
umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna
untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan
untuk mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari
lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin
dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi
uteroplasenter (Roeshadi, 2007).
Berikut
penatalaksanaan preeklampsia ringan :
1. Istirahat
di tempat tidur masih merupakan terapi utama untuk penanganan preeklampsia
2. Tidak
perlu segera diberikan obat anti hipertensi atau obat lainnya, tidak perlu
dirawat kecuali tekanan darah meningkat terus (batas aman 140-150/90-100 mmHg)
3. Pemberian
luminal 1 sampai 2 x 30 mg/hari bila tidak bisa tidur
4. Pemberian
asam asetilsalisilat (aspirin) 1 x 80 mg / hari
5. Bila
tekanan darah tidak turun dianjurkan dirawat dan diberikan obat anti
hipertensi: metildopa 3 x 125 mg/hari (maksimal 1500 mg/hari), atau nifedipin
3-8 x 5 –10 mg / hari, atau nifedipin retard 2-3 x 20 mg / hari atau
pindolol 1-3 x 5 mg / hari 9 maks. 30 mg / hari
6. Diet
rendah garam dan diuretika tidak perlu
7. Jika
maturitas janin masih lama, lanjutkan kehamilan, periksa setiap 1 minggu.
8. Indikasi
rawat jika ada perburukan, tekanan darah tidak turun setelah rawat jalan,
peningkatan berat badan melebihi 1 kg/minggu 2 kali berturut-turut, atau pasien
menunjukkan preeklampsia berat.
9. Jika
dalam perawatan tidak ada perbaikan, tatalaksana sebagai preeklampsia berat,
dan jika ada perbaikan lanjutkan rawat jalan.
10. Pengakhiran
kehamilan ditunggu sampai usia kehamilan 40 minggu, kecuali ditemukan
pertumbuhan janin terhambat, gawat janin, solusio plasenta, eklampsia atau
indikasi terminasi kehamilan lainnya.
11. Persalinan
dalam preeklampsia ringan dapat dilakukan spontan atau dengan bantuan ekstraksi
untuk mempercepat kala II.
2. Preeklampsi
Berat
Tujuan
penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol
tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi
definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda
paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi
persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar
untuk mendapatkan NICU yang baik (Prawirohardjo,
Ilmu Kebidanan, 2012).
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit
dapat memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan
janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan
usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat
gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau
ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan
muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat
dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas
neonatal jangka pendek dan jangka panjang
(Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, 2012).
Penatalaksanaan secara konservatif pada
wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas neonatal. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang
menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38
minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus
diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi
berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita
preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien
harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan (Roeshadi, 2007).
Tujuan obyektif utama
penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya
komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus
diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan
darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid (Dexamethasone atau Betamethasone) untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik
110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada
tekanan diastolik 105 mmHg, sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan
arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga
tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105
mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90
mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama
peripartum adalah antihipertensi (hidralazin) secara IV dosis 5 mg bolus.
Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg.
Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak
menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping
seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol
(20 mg IV) atau nifedipin (10 mg
oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi
dengan hidralazin, beberapa peneliti
merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Bila
ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika
hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka
regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati
normal, maka pemberian hidralazin dihentikan.
Jika hipertensi kembali muncul pada wanita postpartum, labetalol oral atau diuretik
thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan (Roeshadi, 2007).
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam
kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau
kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi
pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami
konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak.
Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah
ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara
cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat
menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko
terjadinya edema pulmonal atau edema otak
(Roeshadi, 2007).
Ketika teknik analgesi telah mengalami
kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki
vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat.
Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa
pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat
stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema
serebral dan perdarahan intrakranial. penggunaan anestesi baik metode anestesi
umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea
pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan
yang hati-hati. Anestesi epidural aman digunakan
selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan
merupakan terapi terhadap hipertensi (Sofoewan,
2003).
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2,
yaitu (Varney, 2006):
a. Indikasi
ibu
Usia
kehamilan ≥ 38 minggu
Hitung
trombosit < 100.000 sel/mm3
Kerusakan
progresif fungsi hepar
Kerusakan
progresif fungsi ginjal
Suspek
solusio plasenta
Nyeri
kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
Nyeri
epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi
janin
IUGR
berat
Hasil
tes kesejahteraan janin yang non reassuring
Oligohidramnion.
Diagnosis
Keperawatan Pada Preeklamsi
Purwaningsih
dan Fatmawati (2010); Reeder dkk (2011), menyebutkan beberapa kemungkinan
diagnosa yang terjadi pada ibu hamil dengan hipertensi diantaranya adalah:
a.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipoventilasi
b.
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan kurang suplai oksigen ke jaringan
c.
Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis
d.
Resiko cedera dengan faktor resiko internal (disfungsi
integrasi sensori)
e.
Intoleran aktifitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
f.
Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status
terkini
g.
Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang
informasi
A.
Intervensi
Keperawatan Pada Preeklamsi
1.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hipoventilasi
Intervensi :
a.
Posisikan pasien untuk mengoptimalkan ventilasi.
b.
Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan.
c.
Lakukan fisioterapi dada.
d. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan inhaler sesuai
resep sebagaimana mestinya.
e.
Monitor status pernapasan dan oksigenasi.
2.
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan kurang suplai oksigen ke jaringan
Intervensi :
a. Lakukan pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler atau
penilaian yang komprehensif pada sirkulasi perifer.
b.
Monitor tingkat ketidaknyamanan atau nyeri.
c.
Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam.
d.
Instruksikan pasien mengenai faktor-faktor yang
mengganggu sirkulasi darah.
e.
Nilai edem dan nadi perifer
f.
Dukung latihan ROM aktif dan pasif khususnya bagian
ekstermitas.
3.
Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis
Intervensi :
a. Kaji tingkat intensitas nyeri pasien
b. Jelaskan penyebab nyerinya
c. Ajarkan
ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul
d. Bantu
ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri
4.
Resiko cedera dengan faktor resiko internal (disfungsi
integrasi sensori)
Intervensi :
a. Ciptakan lingkungan yang
aman bagi pasien.
b. Lindungi
pasien dengan pegangan pada sisi/ bantalan pada sisiruangan
yang sesuai.
c. Letakkan benda yang
sering digunakan dalam jangkauan pasien
d. Anjurkan
keluarga atau orang terdekat tinggal dengan pasien.
e. Kenali faktor resiko
sosio demografi yang berhubungan dengan kondisi kehamilan.
5.
Intoleran aktifitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Intervensi :
a. Bantu klien
menngidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.
b. Bantu klien untuk
memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi, dan sosial.
c. Bantu untuk
mengidentifikasi dan mendapatkan sumber penguatan.
d. Monitor respon fisik,
emosi, sosial, dan spiritual.
6.
Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status
terkini
Intervensi :
a. Gunakan pendekatanyang
menenangkan.
b. Nyatakan
dengan jelasharapan terhadap prilaku pasien.
c. Berikan informsi faktualterkait
diagnosis, perawatan dan prognosis.
d. Berikan
aktivitas yanglain untuk mengurangitekanan nyaman.
e. Dapatkan
prilaku yangmenunjukkan terjadinya relaksasi.
7.
Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang
informasi
Intervensi :
a. Identitafikasi faktor
internal maupun eksternal yang dapat meningkatkan atau mengurangi motivasiuntuk
perilaku sehat
b. Identifikasi (pribadi
ruang dan uang) yang diperlukan untuk melaksanakan program kesehatan
c. Prioritaskan
kebutuhan pasien
DAFTAR PUSTAKA
Akip, Sarah, D. 2015. Luaran Maternal dan
Perinatal pada Ibu Hamil dengan Preeklampsia Berat (Analisis Perbedaan Faktor
Risiko dengan dan Tanpa Riwayat Preeklampsia) URL: http://eprints.undip.ac.id/46835/
Anggraeni, Winda. 2013. Analisis
Faktor Risiko terhadap Luaran Maternal dan Perinatal pada Kasus Eklampsia di
RSUP Dr Kariadi Tahun 2011 – 2012. Undergraduate thesis, Faculty of
Medicine Diponegoro University. URL: eprints.undip.ac.id/44202/3/Winda_Anggraeni_G2A009162_Bab2KTI.pdf
Bawono, Setyo.B. 2005. Gambaran Analisis
Gas Darah Arteri Umbilikalis Neonatus pada Preeklampsia Berat. URL: https://core.ac.uk/download/pdf/11713051.pdf
Bobak, Lowdermilk, & Jensen. 2004.
Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Brinkman C. Kelainan kehamilan
hipertensif. Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2. Jakarta: Hipokrates;
2001:179-91
Canzoneri BJ, Lewis DF, Groome L, Wang Y.
Increased neutrophil number account for leukocytosis in women with
preeclampsia. American Journal of Perinatology. 2011.
Cunningham, G.F et al. (2014). Williams
Obstetrics (24thed.). USA: Mc-Graw Hill.
DeCherney AH, Nathan L. Hypertensive states
of pregnancy. In: Current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment. 9
th ed. New York: McGRAW-HILL Inc; 2003.
FK. Unpad; Obstetri Patologi Bag. Obstetri
dan ginekologi, Bandung,1984
Giyanto, Candra, C. 2015. Perbandingan
Profil Hematologi pada Preeklampsia/ Eklampsia dengan Kehamilan Normotensi di
RSUP Dr. Kariadi Semarang. URL: http://eprints.undip.ac.id/46164/
Jeffery P. Phelan, David B. Cotton, Gary
D.V. Hankins, Steven L. Clark, Critical Care obstetrics, Ed 2, Boston,
Blackwell Scientific Publication, 2004.
John JH, Ziebland S, Yudkin P., et al
(2002). Effect of fruits and vegetable consumptions on plasma antioxidant
concentrations and blood pressure: a randomized controlled trial. Lancet. 359:1969
Keman,Kusnarman.(2014).
Patomekanisme Preeklamsia Terkini Mengungkapkan teori-teori terbaru tentang
patomekanisme preeklampsia dilengkapi dengan deskripsi biomokuler. Malang :
Universitas Brawijawa Press (UB Press).
Mackenzie RM, Sandrim VC &Carty DM.,
et al. (2012): Endhotelial FOS expression and preeclampsia. BJOG 119 (13): 1564
Michael D. Benson; Obstetrical Pearts A Practical
Guide for the Efficient Resident: F.A: David Company, 1992
NANDA. (2018). Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan
Klasifikasi 2018- 2020. Alih bahasa: Budi Anna Keliat, dkk. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, S. (2005).
Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo, S. (2012).
Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.
Prawohardjo, S. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan bina Pustaka
Pribadi, A., Mose, J.C., Anwar, A.D. (2015).
Kehamilan Risiko Tinggi. Jakarta: CV Sagung Seto.
Purwaningsih, Wahyu dan Fatmawati, Siti. 2010. Asuhan
Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika
Redman CW, Sargent IL, Taylor RN. (2014). Immunology
of abnormal pregnancy and preeclampsia.
In Taylor RN, Roberts JM, Cunningham FG (eds): Chesley’s Hypertensive
Disorder in Pregnancy, 4th ed. Amsterdam: Academic Press.
Reeder dkk. 2011.Keperawatan Maternitas Kesehatan
Wanita, Bayi, & Keluarga: Volume 2 Edisi 18. Jakarta: EGC.
Roeshadi, R. (2007).
Upaya untuk Menurukan Kesakitan dan Angka Kematian Ibu pada Penderita
Preeklampsia dan Eklampsia. Maj Obstetri Ginekol Indonesia Vol 31 No 3,
124-132.
Rozikhan. 2006. Faktor-faktor
risiko terjadinya preeklamasi berat dirumah sakit Dr. Soewondo Kendal. Semarang;
Tesis program Megister Epidemiologi Undip. Pp: 19-103. Download 03 September
2018.
Rozikhan. 2007. Faktor-faktor Risiko
Terjadinya Prefeklampsia Berat di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal. URL: http://eprints.undip.ac.id/18342/1/ROZIKHAN.pdf
Silver HM, et al. Mechanism of increased
maternal serum total aktivin A. and inhibin A in preeklampsia. J Soc Gynecol
Investig. 2002; 9: 308-12.
Sofoewan, S. (2003).
Preeklampsia dan Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia, Patogenesis
danKemungkinan Pencegahannya. MOGI Vol 27, 141-151.
Tamsir, Wahyu.C. 2016. Perbedaan Luaran
Maternal dan Perinatal Preeklampsia Berat dengan dan Tanpa Sindrom HELLP. R Medicine > RG
Gynecology and obstetrics Faculty
of Medicine > Department of Medicine Diponegoro University.
URL: http://eprints.undip.ac.id/50859/
Varney, H. (2006). Buku
Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Varney,Helen.2006.
Buku ajar asuhan kebidanan. Jakarta : EGC
Zhang C, Williams MA, King IB., et al.
(2002). Vitamin C and the risk of preeclampsia- results from dietary
questionnaire and plasma assay: Epidemiology. 13: 382
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC.
Jakarta.
Ben-zion Taber, MD.
Kapita selekta. Kedaruratan
Obstetri & Ginecologi; Alih bahasa;
Teddy Supriyadi; Johanes
Gunawan; Editor Melfiawati
S, Ed 2,Jakarta, EGC.1994
Cunningham, F. G, dkk. 2006. Obstetri William Volume
1-2 edisi 21. Jakarta: EGC.
Harrison, K.A. Child bearing, Health and social
prioritirs. A survey of 22,774 consecutive birth in Zaria, Northen, Nigeria.
British Journal of Obstetries andGynecology, 1985.
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan
dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S.
2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rochjati, P., 2003. Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil.
Pusat Safe Mother Hood-Lab/SMF Obgyn RSU Dr. Sutomo/Fakultas Kedokteran UNAIR
Surabaya.
Rozikhan, 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya
Preeklampsia Berat di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal. Tesis S2 Universitas
Diponegoro. Semarang
Wiknjosastro, Hanifa. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta:
PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar