Senin, 22 Juni 2020

Pre Eklampsia : Komplikasi Kehamilan


Mengenal Pre Eklampsia 



Preeklampsia adalah sindroma spesifik pada kehamilan berupa berkurangnya perfusi plasenta akibat vasospasme dan aktivasi endotel yang akhirnya dapat mempengaruhi seluruh sistem organ, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria pada pertengahan akhir kehamilan atau diatas 20 minggu kehamilan (Kusnarman Keman, 2014).
       Klasifikasi Pre Eklampsia
Pre eklampsia digolongkan ke dalam pre eklampsia ringan dan pre eklampsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
           1.       Pre Eklampsia Ringan
a.       Tekanan darah sistole 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam
b.      Tekanan darah diastole 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan 6 jam
c.       Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu. Edema umum, kaki, jari tangan dan muka
d.      Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif 1 sampai 2 pada urin kateter atau urin aliran pertengahan
2.      Pre Eklampsia Berat
a.             Tekanan darah 160/110 mmHg
b.            Ibu hamil dalam keadaan relaksasi (pngukuran tekanan darah minimal setelah istirahat 10 menit)
c.             Ibu hamil tidak dalam keadaan his
-       Oigouria, urin kurang dari 500 cc/24jam
-       Proteinuria 5 gr/liter atau lebih dari 4+ pada pemeriksaan secara kuantitatif
-       Terdapat edema paru dan sianosis
-       Gangguan visus dan serebral
-       Keluhan subjektif
d.            Nyeri epigastrium
e.             Gangguan penglihatan
f.              Nyeri kepala
g.            Gangguan pertumbuhan janin intrauteri
h.            Pemeriksaan trombosit. (Varney,Helen,2006)

Kriteria preeklampsia menurut Working Group National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) tahun 2000 yang masih dipakai hingga saat ini (Kusnarman Keman,2014).


        Etiologi Preeklampsia
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia, meliputi (Pribadi, A., et al., 2015) :
1)      Abnormalitas invasi tropoblas
Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia. Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu yang memicu gejala klinis preeklampsia. (Pribadi, A, et al, 2015). 
2)      Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal
Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta dan adiposit (Redman, 2014).
3)      Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan normal.
4)      Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.
Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit multifaktorial dan poligenik. Predisposisi herediter untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil interaksi dari ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal yang mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem organ. Faktor plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia. (McKenzie, 2012).
Pada ulasan komprehensifnya, Ward dan Taylor (2014) menyatakan bahwa insidensi preeklampsia bisa terjadi 20 sampai 40 persen pada anak perempuan yang ibunya mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara perempuan yang mengalami preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada orang kembar.
5)      Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
John et al (2002) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan turunnya tekanan darah. Penelitian yang dilakukan Zhang et al (2002) menyatakan insidensi preeklampsia meningkat dua kali pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg.

       Faktor resiko
Faktor resiko dan berpengaruh terhadap progresifitas preeklampsia (Pribadi, A. et al, 2015) :
a.       Faktor usia ibu
Usia 20 – 35 tahun adalah periode paling aman untuk hamil / melahirkan, akan tetapi di negara berkembang sekitar 10% - 20% bayi dilahirkan dari ibu remaja yang sedikit lebih besar dari anak-anak. Padahal dari suatu penelitian ditemukan bahwa dua tahun setelah menstruasi yang pertama, seorang wanita masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2 – 7 % dan tinggi badan 1 %. Dampak dari usia yang kurang, dari hasil penelitian di Nigeria, wanita usia 15 tahun mempunyai angka kematian ibu 7 kali lebih besar dari wanita berusia 20-24 tahun (Harrison, 1985).
Dari hasil penelitian Rozikhan (2007), ibu yang hamil pada usia < 20 tahun dan mempunyai resiko terjadinya preeklamsia berat 3,58 kali dibandingkan ibu hamil yang berusia 20-35 tahun. Sedangkan pada ibu hamil dengan usia > 35 tahun juga memiliki resiko 3,97 kali dibandingkan ibu hamil pada usia 20-35 tahun. Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga  lebih  berisiko  untuk  terjadi preeklamsi (Rochjati, 2003).
b.      Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada grandemultigravida. Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4 tahun juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003)
Faktor yang mempengaruhi pre-eklampsia frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda (Rozikhan, 2007). Persalinan yang berulang-ulang akan mempunyai banyak risiko terhadap kehamilan, telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling aman.
c.       Usia kehamilan
d.      Indeks Massa Tubuh (IMT).
      Nilai IMT diatas 30 dengan kategori obesitas, resiko preeklampsia meningkat menjadi 4 kali lipat. Status gizi adalah suatu keadaan keseimbangan dalam tubuh sebagai akibat pemasukan konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang digunakan oleh tubuh untuk kelangsungan hidup dalam mempertahankan fungsi-fungsi organ tubuh. Cara penilaian status gizi wanita hamil meliputi, evaluasi terhadap faktor resiko, diet, pengukuran antropometrik dan biokimiawi. Antropometri sebagai indicator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari tubuh antara lain : umur,  berat badan,  tinggi  badan,  lingkar  lengan  atas,  lingkar  dada, lingkar kepala, lingkar pinggul dan tebal lemak (Arisman, 2002).
Dalam penelitian Rozikhan (2007) ukuran status gizi responden pada saat dilakukan pendataan dengan melihat indek masa tubuh dengan penilaian : IMT <25 adalah normal,  IMT >25 adalah overweight, atau dengan mengukur Lingkar lengan atas ( LILA ), ukuran normal lingkar lengan atas (LILA) 23,5 cm-25 cm dan Obesitas dengan ukuran LILA > 25 cm.
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi pemompaan jantung. Sehingga dapat menyumbangkan terjadinya preeklampsia (Rozikhan, 2007).

                   Faktor resiko preeklampsia (Cunningham, et al., 2014) antara lain :
a.       Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori, biasanya disertai kelebihan lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak bisa merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain. Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko preeklamsia bersifat progresif,  meningkat  dari  4,3%  untuk wanita  dengan  indeks massa  tubuh  kurang dari  19,8  kg/m2  terjadi  peningkatan  menjadi  13,3  %  untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2 (Cunningham, 2006).
b.      Hiperplasentosis /kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya preeklamsi, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut misalnya: kehamilan multiple, diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus molahidatidosa (Prawirohardjo, 2008).
c.       Genetik
Terdapat bukti bahwa pre-eklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita  dari  ibu  penderita  pre- eklampsia atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga (Manuaba,1998)
Faktor ras dan genetik merupakan unsur yang penting karena mendukung insiden hipertensi kronis yang mendasari. Kami menganalisa kehamilan pada 5.622 nullipara yang melahirkan di Rumah Sakit Parkland dalam tahun 1986 dan 18% wanita kulit putih, 20% wanita Hispanik serta 22% wanita kulit hitam menderita hipertensi yang memperberat kehamilan (Cuningham, 1995).  Insiden hipertensi dalam kehamilan untuk multipara adalah 6,2% pada kulit putih, 6,6% pada Hispanik, dan 8,5% pada kulit hitam, yang menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih sering terkena penyakit hipertensi yang mendasari. Separuh lebih dari multipara dengan hipertensi juga menderita proteinuria dan karena menderita superimposed preeclampsia.
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familia jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang mengalami preeklamsi 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsi pula, sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsi. Karena biasanya kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan terjadinya vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya preeklamsi/eklamsi (Wiknjosastro, 2008; Cunningham, 2008).
d.      Riwayat Hipertensi
Salah satu faktor predisposisi terjadinya pre-eklampsia atau eklampsia adalah adanya riwayat hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau hipertensi esensial. Sebagian besar kehamilan dengan hipertensi esensial berlangsung normal sampai cukup bulan. Pada kira-kira sepertiga diantara para wanita penderita tekanan darahnya tinggi setelah kehamilan 30 minggu tanpa disertai gejala lain. Kira- kira 20% menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok dan dapat disertai satu gejala preeklampsia atau lebih, seperti edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah, gangguan visus (Supperimposed preeklampsia), bahkan dapat timbul eklampsia dan perdarahan otak. (Benzion, 1994).
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil atau sebelum umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko lebih besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi. Diagnosa preeklamsia ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah yang disertai dengan proteinuria atau edema anasarka (Cunningham, 2006). Hipertensi karena kehamilan paling sering mengenai wanita nullipara. Wanita yang lebih tua, yang dengan bertambahnya usia akan menunjukkan peningkatan insiden hipertensi kronis, menghadapi risiko yang lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan atau superimposed pre-eclampsia. Jadi wanita yang berada pada awal atau akhir usia reproduksi, dahulu dianggap rentan
e.       Kehamilan multifetal
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal dan sebagai faktor penyebabnya ialah distensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4,0%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu (Rozikhan, 2007)
f.        Pemeriksaan Antenatal
Preeklapmsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan berkelanjutan, oleh karena itu melalui antenatal care yang bertujuan untuk mencegah perkembangan preeklampsia, atau setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga dapat mengurangi kejadian kesakitan. Pada tingkat permulaan preeclampsia tidak memberikan gejala-gejala yang dapat dirasakan oleh pasien sendiri, maka diagnosa dini hanya dapat dibuat dengan antepartum care. Jika calon ibu melakukan kunjungan setiap minggu ke klinik prenatal selama 4-6 minggu terakhir kehamilannya, ada kesempatan untuk melekukan tes proteinuri, mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-tanda   udema.   Setelah   diketahui   diagnosa   dini   perlu   segera   dilakukan penanganan untuk mencegah masuk kedalam eklampsia.  Disamping faktor-faktor yang sudah diakui, jelek tidaknya kondisi ditentukan  juga  oleh  baik  tidaknya antenatal care. Dari 70% pasien primigrafida yang menderita preeklampsia, 90% nya mereka tidak melaksanakan atenatal care.
g.      Pekerjaan
Aktifitas pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi kerja otot dan peredaran darah. Begitu juga bila terjadi pada seorang ibu hamil, dimana peredaran darah dalam tubuh dapat terjadi perubahan seiring dengan bertambahnya usia kehamilan akibat adanya tekanan dari pembesaran rahim. Semakin bertambahnya usia kehamilan akan berdampak pada konsekuensi kerja jantung yang semakin bertambah dalam rangka memenuhi kebutuhan selama proses kehamilan. Oleh karenanya pekerjaan tetap dilakukan, asalkan tidak terlalu berat dan melelahkan seperti pegawai kantor, administrasi perusahaan atau mengajar. Semuanya untuk kelancaran peredaran darah dalam   tubuh   sehingga   mempunyai   harapan   akan   terhindar   dari   preeklamsia (Rozikhan, 2007)
Faktor resiko lain melliputi lingkungan, sosioekonomi, dan bisa juga pengaruh musim. (Cunningham et al., 2014)
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya lebih maju jarang terjangkit penyakit preeklamsi. Preeklamsi/eklamsi dapat dicegah dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi yang masih  rendah  dan  pengetahuan  yang  kurang  seperti  di  negara  berkembang seperti  Indonesia  insiden  preeklamsi/eklamsi  masih  sering  terjadi  (Cunningham, 2006). 

          Tanda dan gejala preeklamasi 
a. 
1.   Hipertensi
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita menderita hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeklampsia.
Peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal   2   kali dengan   jarak   waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat. (Benson, 1992)
2.   Edema
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosa pre-eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih diangap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam sebulan pre-eklampsia harus dicurigai. Atau bila terjadi pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda preeklampsia. Tambah berat yang sekonyong konyong ini desebabkan retensi air dalam jaringan dan kemudian oedema nampak dan edema tidak hilang dengan istirahat. Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH (Hipertensi dalam kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya general. (FK Unpad, 1984)
3.   Proteinuria
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 + (menggunakan metode turbidimetrik standard) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih yang diambil minimal  2  kali  dengan  jarak 6 jam. Proteinuri biasanya timbul lebih lambat dari hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering ditemukan pada preeklampsia, rupa-rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darah ginjal. Karena itu harus dianggap   sebagai   tanda   yang   cukup   serius. Disamping adanya gejala yang nampak diatas pada keadaan yang lebih lanjut timbul gejala-gejala subyektif yang membawa pasien ke dokter. (FK Unpad, 1982)
b.                                 Gejala subyektif:
1.     Sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.
2.     Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau sakit kerena perubahan pada lambung.
3.  Gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang pasien buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae. Perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop.
4.      Gangguan pernafasan sampai sianosis.
5.      Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran 

 
        Patofisiologi Preeklampsi
`     Patofisiologi preeklampsia berhubungan dengan perubahan fisiologi kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi, penurunan resistensi vascular sistemik, peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid. Pada preeklampsia, volume plasma yang beredar menurun, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematocrit maternal. Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta (Bobak, et.al., 2004).
Vasopasme merupakan dasar patofisiologi preeklampsia. Penyempitan vaskuler akan menyebabkan resistensi aliran darah dan menyebabkan timbulnya hipertensi arterial. Adanya dilatasi dan spasme yang bergantian pada satu segmen kemunginan akan menjadi salah satu faktor kerusakan vaskuler, sebab intergritas endotel dapat terganggu oleh segmen pembuluh darah yang melebar dan teregang. Lebih lanjut, angiotensin ll mempunyai aksi langsung terhadap sel endotel sehingga berkontraksi. Perubahan tersebut menyebabkan kerusakan atau kebocoran antar sel endotel sehingga komponen darah seperti trombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel. Perubahan vaskuler tersebut bersama dengan hipoksia jaringan disekitarnya akan mengarah pada perdarahan, nekrosis, dan gangguan organ akhir yang lain. (Bawono, 2005).
Invasi Trofoblastik yang Abnormal
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arterispiralis uterus, mengganti lapisan  endothelial dari arteri tersebut dengan merusak jaringan elastis medial, muskular, dan neural secara berurutan. Sebelum trimester kedua kehamilan berakhir, arteri spiralis uteri dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel endothelial tidak lagi ada pada bagian endometrium atau bagian superfisial dari miometrium. Proses remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan sistem arteriolar yang rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai volume darah yang signifikan untuk kebutuhan pertumbuhan janin. Pada preeklampsia, segmen miometrium dari arteri secara anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal dari arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali lebih kecil dari diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi. Kegagalan dalam proses remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat terhadap kebutuhan suplai darah janin yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi integrin yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat menjelaskan tidak sempurnanya remodeling arteri yang terjadi pada preeklampsia (Akip, SD, 2015).
Terdapat fase istirahat hingga kehamilan mencapai 14-16 minggu, tahap kedua terjadi invasi sel trofoblas ke dalam lumen arteri spiralis hingga kedalaman miometrium. Kemudian proses berulang seperti tahap pertama, yaitu penggantian sel endotel, rusaknya jaringan elastis dan jaringan otot polos, dan penggantian material fibrinoid pada dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah dinding pembuluh darah menjadi tipis, otot dinding arteri lemas berbentuk seperti kantung yang berdilatasi secara pasif untuk menyesuaikan kebutuhan aliran darah ke janin (DeCherney AH,et.al., 2003, dalam Giyanto, 2015).
Preeklampsia berkembang seiring dengan kegagalan pada proses invaginasi plasenta. Pertama, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel trofoblas. Kedua arteri yang mengalami invasi, pada tahap pertama berjalan normal, tetapi pada tahap kedua tidak berlangsung normal sehingga bagian arteri spiralis dalam myometrium tetap berbentuk dinding muskuloelastis reaktif (DeCherney AH, et.al., 2003, dalam Giyanto, 2015).


Remodeling pembuluh darah pada kehamilan normal dan preeklampsia/ eklampsia (Giyanto, 2015).
 Preeklampsi
 

Normal
   

Sebagai tambahan, arteriosis akut (isi seperti artherosklerosis) berkembang pada arteri spiralis segmen miometrium pada penderita preeklampsia. Lesi ini menyebabkan lumen arteri mengecil atau bahkan obliterasi mengakibatkan penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya infark plasenta. Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi vaskuler disebabkan karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya terjadi gangguan aliran darah di daerah intervili yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta (DeCherney AH, et.al. 2003, dalam Giyanto, 2015). Hal ini dapat menimbulkan iskemia dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin hingga kematian bayi (Canzoneri BJ, et.al., 2011 dalam Giyanto, 2015).
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia (Tamsir, 2016).
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti (Tamsir, 2016). :
  1. Pada ginjal: hiperurisemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
  2. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema menyeluruh.
  3. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
  4. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
  5. Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
Selain kerusakan endothelial, vasopasme arterial turut menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Keadaan ini meningkatkan edema dan lebih lanjut menurunkan volume intravascular, mempresdiposisi pasien yang mengalami preeklampsia mudah menderita edema paru. Preeklampisa merupakan keadaan hiperdinamik dimana temuan khas hipertensi dan proteinuria merupakan akibat hiperfungsi ginjal. Untuk mengendalikan sejumlah besar darah yang berperffusi di ginjal, timbul reaksi vasopasme ginjal sebagai suatu mekanisme protektif, tetapi hal ini akhirnya akan mengakibatkan proteinuria dan hipertensi (Bobak, et.al., 2004).
Kerusakan sel endotel akan mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin, karena endotel merupakan tempat pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit (Brinkman, 2001) dalam (Anggraeni, 2013).  Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin (Brinkman, 2001 & Silver, et.al., 2002) dalam (Anggraeni, 2013).
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A 2 dan serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel (Anggraeni, 2013).
Tromboksan A 2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A 2 mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah (Brinkman, 2001) dalam (Anggraeni, 2013).
 
                  Pencegahan dan Penatalaksanaan Preeklampsi
1.   Pencegahan Preeklampsi
Pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi (janin). Untuk mencegah kejadian Pre eklampsia dapat dilakukan nasehat tentang dan berkaitan dengan (Roeshadi, 2007)
a.    Diet-makanan 
Makan makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin dan rendah lemak. Kurangi garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna. Untuk meningkatkan jumlah protein dengan tambahan satu butir telur setiap hari.
b.   Cukup istirahat 
Istirahat yang cukup pada saat hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring kearah kiri sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan. 
c.    Pengawasan antenatal (hamil) 
Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian : 
1)            Uji kemungkinan Pre eklampsia: 
-          Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya 
-          Pemeriksaan tinggi fundus uteri 
-          Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema 
-          Pemeriksaan protein dalam urin 
-          Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum dan pemeriksaan retina mata. 
2)            Penilaian kondisi janin dalam rahim. 
-          Pemantauan tinggi fundus uteri 
-   Pemeriksaan janin: gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin, pemantauan air ketuban 
d.      Jadwal pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketa
Segera datang memeriksakan diri, bila tedapat gejala sakit kepala, mata kabur, edema mendadak atau berat badan naik. Pernafasan semakin sesak, nyeri ulu hati, kesadaran makin berkurang, gerak janin berkurang, pengeluaran urin berkurang. Petunjuk untuk segera memasukkan penderita ke rumah sakit atau merujuk penderita
Bila tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih 
Protein dalam urin 1 plus atau lebih
Kenaikan berat badan ½ kg atau lebih dalam seminggu 
Edema bertambah dengan mendadak 
Terdapat gejala dan keluhan subjektif
2     Penatalaksanaan dan Penanganan Preeklampsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama (Prawirohardjo, 2005).
Pada dasarnya penanganan preeklampsia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, tetapi sudah cukup matur untuk hidup diluar uterus. Waktu optimal tersebut tidak selalu dapat dicapai pada penanganan preeklampsia, terutama bila janin masih sangat prematur. Dalam hal ini diusahakan dengan tindakan medis untuk dapat menunggu selama mungkin, agar janin lebih matur (Prawirohardjo, 2005).
Tujuan penanganan preeklamsi adalah (Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, 2012) :
a.       Umtuk melindungi ibu dari efek meningkatnya tekanan darah dan mencegah progresifitas atau penyakit menjadi eclampsia dengan segala komplikasinya.
b.      Untuk mengatasi atau menurunkan resiko preeklampsi terhadap janin termasuk terjadinya solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat, dan kematian janin intrauterine.
c.       Untuk melahirkan janin dengan cara yang paling aman bila diketahui resiko janin atau ibu akan lebih berat bila kehamilan dilanjutkan.

Penatalaksanaan pada preeklamsi dibagi berdasarkan berat dan ringannya preeklamsi, yaitu :
1.      Preeklampsi Ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu (Prawirohardjo, Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3, 2005).
Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan (Prawirohardjo, Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3, 2005).
Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K dalam janin. Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio Lesitin : Sfingomielin (L: S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter (Roeshadi, 2007).
Berikut penatalaksanaan preeklampsia ringan :
1. Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi utama untuk penanganan preeklampsia
2. Tidak perlu segera diberikan obat anti hipertensi atau obat lainnya, tidak perlu dirawat kecuali tekanan darah meningkat terus (batas aman 140-150/90-100 mmHg)
3. Pemberian luminal 1 sampai 2 x 30 mg/hari bila tidak bisa tidur
4. Pemberian asam asetilsalisilat (aspirin) 1 x 80 mg / hari
5. Bila tekanan darah tidak turun dianjurkan dirawat dan diberikan obat anti hipertensi: metildopa 3 x 125 mg/hari (maksimal 1500 mg/hari), atau nifedipin 3-8 x 5 –10 mg / hari, atau nifedipin retard 2-3 x 20 mg / hari atau pindolol 1-3 x 5 mg / hari 9 maks. 30 mg / hari
6. Diet rendah garam dan diuretika tidak perlu
7. Jika maturitas janin masih lama, lanjutkan kehamilan, periksa setiap 1 minggu.
8. Indikasi rawat jika ada perburukan, tekanan darah tidak turun setelah rawat jalan, peningkatan berat badan melebihi 1 kg/minggu 2 kali berturut-turut, atau pasien menunjukkan preeklampsia berat.
9. Jika dalam perawatan tidak ada perbaikan, tatalaksana sebagai preeklampsia berat, dan jika ada perbaikan lanjutkan rawat jalan.
10. Pengakhiran kehamilan ditunggu sampai usia kehamilan 40 minggu, kecuali ditemukan pertumbuhan janin terhambat, gawat janin, solusio plasenta, eklampsia atau indikasi terminasi kehamilan lainnya.
11. Persalinan dalam preeklampsia ringan dapat dilakukan spontan atau dengan bantuan ekstraksi untuk mempercepat kala II.
2.      Preeklampsi Berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik (Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, 2012).
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang (Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, 2012).
Penatalaksanaan secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan (Roeshadi, 2007).
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid (Dexamethasone atau Betamethasone) untuk pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg, sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah antihipertensi (hidralazin) secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita postpartum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan (Roeshadi, 2007).
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak (Roeshadi, 2007).
Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati. Anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi (Sofoewan, 2003).
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu  (Varney, 2006):
a.       Indikasi ibu
Usia kehamilan ≥ 38 minggu
Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
Kerusakan progresif fungsi hepar
Kerusakan progresif fungsi ginjal
Suspek solusio plasenta
Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b.      Indikasi janin
IUGR berat
Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
Oligohidramnion.
                 Diagnosis Keperawatan Pada Preeklamsi
              Purwaningsih dan Fatmawati (2010); Reeder dkk (2011), menyebutkan beberapa kemungkinan diagnosa yang terjadi pada ibu hamil dengan hipertensi diantaranya adalah:
a.       Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipoventilasi
b.      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang suplai oksigen ke jaringan
c.       Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis
d.      Resiko cedera dengan faktor resiko internal (disfungsi integrasi sensori)
e.       Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
f.        Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
g.      Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi 

A.    Intervensi Keperawatan Pada Preeklamsi
1.      Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hipoventilasi
Intervensi :
a.       Posisikan pasien untuk mengoptimalkan ventilasi.
b.      Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan.
c.       Lakukan fisioterapi dada.
d.  Ajarkan pasien bagaimana menggunakan inhaler sesuai resep sebagaimana mestinya.
e.       Monitor status pernapasan dan oksigenasi.
2.      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang suplai oksigen ke jaringan
Intervensi :
a.   Lakukan pemeriksaan fisik sistem kardiovaskuler atau penilaian yang komprehensif pada sirkulasi perifer.
b.      Monitor tingkat ketidaknyamanan atau nyeri.
c.       Ubah posisi pasien setidaknya setiap 2 jam.
d.      Instruksikan pasien mengenai faktor-faktor yang mengganggu sirkulasi darah.
e.       Nilai edem dan nadi perifer
f.        Dukung latihan ROM aktif dan pasif khususnya bagian ekstermitas.
3.      Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis
Intervensi :
a.       Kaji tingkat intensitas nyeri pasien
b.      Jelaskan penyebab nyerinya
c.       Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul
d.      Bantu ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri
4.      Resiko cedera dengan faktor resiko internal (disfungsi integrasi sensori)
Intervensi :
a.       Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien.
b.    Lindungi pasien dengan pegangan pada sisi/ bantalan pada sisiruangan yang sesuai.
c.       Letakkan benda yang sering digunakan dalam jangkauan pasien
d.      Anjurkan keluarga atau orang terdekat tinggal dengan pasien.
e.     Kenali faktor resiko sosio demografi yang berhubungan dengan kondisi kehamilan.
5.      Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Intervensi :
a.       Bantu klien menngidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.
b. Bantu klien untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi, dan sosial.
c.       Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber penguatan.
d.      Monitor respon fisik, emosi, sosial, dan spiritual.
6.      Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
Intervensi :
a.       Gunakan pendekatanyang menenangkan.
b.      Nyatakan dengan jelasharapan terhadap prilaku pasien.
c.       Berikan informsi faktualterkait diagnosis, perawatan dan prognosis.
d.      Berikan aktivitas yanglain untuk mengurangitekanan nyaman.
e.       Dapatkan prilaku yangmenunjukkan terjadinya relaksasi.

7.      Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
Intervensi :
a.     Identitafikasi faktor internal maupun eksternal yang dapat meningkatkan atau mengurangi motivasiuntuk perilaku sehat
b.    Identifikasi (pribadi ruang dan uang) yang diperlukan untuk melaksanakan program kesehatan
c.       Prioritaskan kebutuhan pasien
DAFTAR PUSTAKA

Akip, Sarah, D. 2015. Luaran Maternal dan Perinatal pada Ibu Hamil dengan Preeklampsia Berat (Analisis Perbedaan Faktor Risiko dengan dan Tanpa Riwayat Preeklampsia) URL: http://eprints.undip.ac.id/46835/
Anggraeni, Winda. 2013. Analisis Faktor Risiko terhadap Luaran Maternal dan Perinatal pada Kasus Eklampsia di RSUP Dr Kariadi Tahun 2011 – 2012. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine Diponegoro University. URL: eprints.undip.ac.id/44202/3/Winda_Anggraeni_G2A009162_Bab2KTI.pdf
Bawono, Setyo.B. 2005. Gambaran Analisis Gas Darah Arteri Umbilikalis Neonatus pada Preeklampsia Berat. URL: https://core.ac.uk/download/pdf/11713051.pdf
Bobak, Lowdermilk, & Jensen. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Brinkman C. Kelainan kehamilan hipertensif. Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2. Jakarta: Hipokrates; 2001:179-91
Canzoneri BJ, Lewis DF, Groome L, Wang Y. Increased neutrophil number account for leukocytosis in women with preeclampsia. American Journal of Perinatology. 2011.
Cunningham, G.F et al. (2014). Williams Obstetrics (24thed.). USA: Mc-Graw Hill.
DeCherney AH, Nathan L. Hypertensive states of pregnancy. In: Current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment. 9 th ed. New York: McGRAW-HILL Inc; 2003.
FK. Unpad; Obstetri Patologi Bag. Obstetri dan ginekologi, Bandung,1984
Giyanto, Candra, C. 2015. Perbandingan Profil Hematologi pada Preeklampsia/ Eklampsia dengan Kehamilan Normotensi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. URL:  http://eprints.undip.ac.id/46164/
Jeffery P. Phelan, David B. Cotton, Gary D.V. Hankins, Steven L. Clark, Critical Care obstetrics, Ed 2, Boston, Blackwell Scientific Publication, 2004.
John JH, Ziebland S, Yudkin P., et al (2002). Effect of fruits and vegetable consumptions on plasma antioxidant concentrations and blood pressure: a randomized controlled trial. Lancet. 359:1969
Keman,Kusnarman.(2014). Patomekanisme Preeklamsia Terkini Mengungkapkan teori-teori terbaru tentang patomekanisme preeklampsia dilengkapi dengan deskripsi biomokuler. Malang : Universitas Brawijawa Press (UB Press).
Mackenzie RM, Sandrim VC &Carty DM., et al. (2012): Endhotelial FOS expression and preeclampsia. BJOG 119 (13): 1564
Michael D. Benson; Obstetrical Pearts A Practical Guide for the Efficient Resident: F.A: David Company, 1992
NANDA. (2018). Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan Klasifikasi 2018- 2020. Alih bahasa: Budi Anna Keliat, dkk. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, S. (2005). Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo, S. (2012). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.
Prawohardjo, S. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan bina Pustaka
Pribadi, A., Mose, J.C., Anwar, A.D. (2015). Kehamilan Risiko Tinggi. Jakarta: CV Sagung Seto.
Purwaningsih, Wahyu dan Fatmawati, Siti. 2010. Asuhan Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika
Redman CW, Sargent IL, Taylor RN. (2014). Immunology of abnormal pregnancy and preeclampsia.  In Taylor RN, Roberts JM, Cunningham FG (eds): Chesley’s Hypertensive Disorder in Pregnancy, 4th ed. Amsterdam: Academic Press.
Reeder dkk. 2011.Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita, Bayi, & Keluarga: Volume 2 Edisi 18. Jakarta: EGC.
Roeshadi, R. (2007). Upaya untuk Menurukan Kesakitan dan Angka Kematian Ibu pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia. Maj Obstetri Ginekol Indonesia Vol 31 No 3, 124-132.
Rozikhan. 2006. Faktor-faktor risiko terjadinya preeklamasi berat dirumah sakit Dr. Soewondo Kendal. Semarang; Tesis program Megister Epidemiologi Undip. Pp: 19-103. Download 03 September 2018.
Rozikhan. 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Prefeklampsia Berat di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal. URL: http://eprints.undip.ac.id/18342/1/ROZIKHAN.pdf
Silver HM, et al. Mechanism of increased maternal serum total aktivin A. and inhibin A in preeklampsia. J Soc Gynecol Investig. 2002; 9: 308-12.
Sofoewan, S. (2003). Preeklampsia dan Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia, Patogenesis danKemungkinan Pencegahannya. MOGI Vol 27, 141-151.
Tamsir, Wahyu.C. 2016. Perbedaan Luaran Maternal dan Perinatal Preeklampsia Berat dengan dan Tanpa Sindrom HELLP. R Medicine > RG Gynecology and obstetrics Faculty of Medicine > Department of Medicine Diponegoro University. URL: http://eprints.undip.ac.id/50859/
Varney, H. (2006). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
Varney,Helen.2006. Buku ajar asuhan kebidanan. Jakarta : EGC
Zhang C, Williams MA, King IB., et al. (2002). Vitamin C and the risk of preeclampsia- results from dietary questionnaire and plasma assay: Epidemiology. 13: 382
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC. Jakarta.
Ben-zion Taber, MD.  Kapita selekta.  Kedaruratan Obstetri & Ginecologi; Alih bahasa;  Teddy  Supriyadi;  Johanes  Gunawan;  Editor  Melfiawati  S,  Ed 2,Jakarta, EGC.1994
Cunningham, F. G, dkk. 2006. Obstetri William Volume 1-2 edisi 21. Jakarta: EGC.
Harrison, K.A. Child bearing, Health and social prioritirs. A survey of 22,774 consecutive birth in Zaria, Northen, Nigeria. British Journal of Obstetries andGynecology, 1985.
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S.  2008.  Ilmu Kebidanan.  Jakarta:  PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rochjati, P., 2003. Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil. Pusat Safe Mother Hood-Lab/SMF Obgyn RSU Dr. Sutomo/Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya.
Rozikhan, 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal. Tesis S2 Universitas Diponegoro. Semarang
Wiknjosastro, Hanifa. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar